REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengakui sempat merasa stres mengurusi perkara sengketa pemilihan kepala daerah yang sering diliputi kesaksian-kesaksian palsu di dalam persidangan.
"Tiga bulan pertama menjadi hakim konstitusi, saya stres berat harus memeriksa dan mengadili perkara pilkada. Saya menilai banyak kesaksian, banyak yang berbicara di dalam persidangan itu tidak benar meskipun berada di bawah sumpah," kata Arief dalam sambutannya pada perayaan ulang tahun pertama Komite untuk Pemberdayaan Pers dan Demokrasi PressCode di Jakarta, Kamis (21/11) malam.
Arief yang juga Wakil Ketua MK itu menyatakan hafal benar gerak tubuh seseorang yang tidak sesuai dengan ucapannya. Nada-nada kebohongan itu sering kali muncul di persidangan.
"Saya lama menjadi guru besar, sehingga hafal betul 'gesture' seseorang. Saat saya memeriksa saksi-saksi sidang perkara pilkada, saya melihat bahwa banyak dari mereka tidak benar. Lalu saya berpikir, kalau saya ikut mengadili perkara itu apakah saya tidak berdosa," ujarnya.
Dia pun sempat berpikir untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai hakim konstitusi dan kembali fokus mengajar sebagai dosen layaknya asal-usulnya dulu.
"Apalagi setelah Pak Akil ditangkap KPK, saya berpikir kalau tahu MK seperti ini jadinya, saya tidak mau, saya malu, dan saya lebih baik mengundurkan diri saja," ujar dia.
Pemikiran itu pun urung dilakukannya setelah berkonsultasi dengan sejumlah guru besar yang mendorongnya untuk bertahan di MK. Hingga akhirnya, saat ini dia terpilih menjadi Wakil Ketua MK.
Arief mengatakan sebenarnya secara pribadi lebih senang menguji materi perundang-undangan.
Alasannya, katanya, pengujian undang-undang sangat akademis dan sesuai dengan kompetensi serta latar belakangnya dahulu.
Namun, dia tidak spesifik mengatakan bahwa pernyataan itu merupakan harapannya agar MK tak lagi mengurusi sidang sengketa pilkada.