REPUBLIKA.CO.ID, WASINGTON -- Presiden Barak Obama menjamu Raja Maroko Muhammad VI di Gedung Putih, Jumat kemarin dalam sebuah pembicaraan mengenai demokrasi dan pemberantasan ekstremisme.
Dibicarakan juga potensi konflik di kawasan Afrika Utara, termasuk isu Sahara Barat, dan peran AS dalam kebijakan Maroko.
"AS telah menekankan bahwa rencana otonomi Maroko merupakan sesuatu yang serius dan realistik dan mewakili pendekatan yang potensial yang dapat memuaskan aspirasi masyarakat Sahara Barat untuk menjalankan urusan mereka sendiri dalam kedamaian dan kehormatan," kata Juru Bicara Gedung Putih Jay Carney.
Maroko mempunyai sejarah yang panjang dengan Amerika saat benua, yang dikenal di peta kuno pelaut Arab dengan nama Ard Majhoola (terra incognita), itu dikunjungi pertama sekali oleh Columbus 1492.
Saat itu kapal Pinta yang digunakan Columbus dikapteni oleh Martin Alonso Pinzon dan kapal Nina dinakhodai Vicente Yanez Pinzon, yang menurut Profesor Barry Fell, keduanya dinilai merupakan keturunan Abu Zayyan Muhammad III (1362-1366), seorang Sultan Maroko di era Dinasti Mariniyah.
Tahun 1777, Maroko mengakui kedaulatan Amerika Serikat yang saat itu sedang berperang untuk meraih kemerdekaan dari Inggris atas permintaan pendiri AS George Washington. Pengakuan kedaulatan itu dilakukan oleh Sultan Maroko Sidi Muhammad ben Abdallah al-Khatib (Muhammad III), pada Desember 1777 saat pasukan pemberontakan yang dipimpin George Washington hampir kalah dari Inggris.
Dengan pengakuan itu pula, keamanan logistik kapal-kapal pemberontak AS terjamin di pelabuhan Maroko dari gangguan bajak laut dan Angkatan Laut Inggris yang mengusai dunia saat itu. Hubungan kedua negara kemudiaan diformalkan menjadi Moroccan–American Treaty of Friendship yang dinegosiasikan oleh Thomas Barclay, dan ditandatangani Thomas Jefferson, John Adams dan Muhammad III pada 1786.
Traktat ini juga membuat para budak yang beragama Islam di negara baru itu mendapat kebebasan seperti Abdulrahman Ibrahim Ibn Sori, seorang pangeran yang dijadikan budak, berasal dari Guinea yang saat itu masuk dalam wilayah Maroko. Kisahnya telah difilmkan berjudul 'Prince Among Slaves'.
"Orang Amerika, saya mengetahui, adalah sebuah bangsa Kristen yang disukai ayah saya.. Saya sama dengan mereka, seperti ayahku, saya percaya mereka juga begitu kepadaku.. dengan hubungan yang baik semuanya terjalin," kata Moulay Suliman sesaat setelah menggantikan tahta ayahnya Muhammad III yang meninggal tahun 1790.
Namun, Maroko terjerembab dalam kolonialisme Eropa di awal abad ke-20. Hingga, saat Maroko merdeka kembali, beberapa bekas wilayahnya telah menjadi negara-negara sendiri sampai akhirnya Sahara Barat ditinggalkan Spanyol. Sahara Barat dikuasai kembali secara de facto oleh Maroko tahun 1975 dan menyisakan konflik dengan organisasi lokal, Polisario.