REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua petugas penjaga perbatasan wilayah Republik Indonesia dengan Republik Demokrasi Timor Leste (RDTL) dari masing-masing negara terlihat bersalaman ketika rombongan Kementerian Pertahanan dan petinggi TNI memasuki daerah perbatasan di Mota'ain, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.
Kedua orang tersebut adalah Komandan Kompi Tempur 3 Kapten Infantri Feby Perbawa dari Batalyon Yonif 743/ Pradnya Samapta Yudha dan Permeiro Sargento Rui Cairo dari Unidadi Patrouha Main to Founteira (UPF) atau polisi penjaga perbatasan RDTL.
Sikap yang ditunjukkan kedua orang tersebut yang mewakili negaranya masing-masing ingin menunjukkan adanya keakraban para penjaga perbatasan meskipun berbeda negara. Karena secara kultural dan kekerabatan, Timor Leste sangat berhubungan erat dengan Indonesia, khususnya NTT.
"Saya punya keluarga di Atambua dan Yogyakarta," kata Rui.
Saat kunjungan tersebut pada hari Kamis (21/11), Rui sendirian berada di lapangan dan menerima kunjungan petinggi TNI, antara lain Kepala Bidang Pemberitaan Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan Kolonel Kal Anton Iman Santosa, Komandan Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan RI-RDTL Mayor Infanteri Budi Prasetyo, Komandan Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan Pulau Terdepan Letnan Kolonel Inf. Teddy Arifiyanto yang juga menjabat Komandan Batalyon 744/ Satya Yudha Bhakti.
Rui menceritakan sejak dirinya menjadi polisi penjaga perbatasan tahun 2003 tidak ada permasalahan serius yang dihadapinya terkait dengan masalah perbatasan.
Menurut pria yang pernah bekerja di Kantor Wilayah Transmigrasi NTT itu, apabila ada permasalahan perbatasan, diselesaikan secara musyawarah dengan TNI sebagai penjaga perbatasan.
"Selama ini aman saja karena kami menjaga hubungan baik," ujarnya.
Kekhasan hubungan kedua negara, khususnya di wilayah perbatasan, dapat terlihat dari diberikannya kelonggaran bagi sanak keluarga dari Indonesia yang menghadiri acara adat di Timor Leste dan juga sebaliknya.
Bagi masyarakat yang memiliki keperluan untuk acara adat seperti pemakaman, kata Rui, diberi dispensasi dengan hanya diberikan izin masuk ke wilayah negara tetangga.
"Batas waktunya tiga hari, kalau lebih, tidak diberi izin karena sebenarnya harus menggunakan dokumen resmi," katanya.
Staf Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM di Mota'ain Justinus Jecky Leorema mengatakan bahwa masyarakat di sekitar perbatasan RI-RDTL memiliki Pass Lintas Batas (PLB) yang berlaku satu tahun.
Menurut dia, selama ini keperluan para pelintas batas adalah untuk urusan keluarga seperti kematian dan acara adat, sedangkan untuk keperluan bisnis sangat jarang.
"Kami yang bertugas ada delapan orang yang masing-masing memiliki tugas sendiri, mulai dari pukul 08.00 hingga 16.00 WITA," kata Jacky.
Kapten Inf. Fery Perbawa mengatakan bahwa satuannya ditempatkan di Mota'ain sejak September 2013 dan sering berpatroli dengan UPF setidaknya seminggu dua kali. Menurut dia, langkah itu untuk membangun rasa kesepahaman mengenai masalah yang terjadi di antara kedua negara.
"Ada kasus ternak yang memasuki pekarangan warga Timor Leste lalu pemilik lahan mempermasalahkan sehingga kami selesaikan melalui koordinasi dengan UPF dan akhirnya selesai," kata Fery.
Jarak antara daerah perbatasan dan pusat kota terkadang sangat jauh dan akses infrastrukturnya kurang memadai. Misalnya, saja jarak tempuh apabila ingin menuju Mota'ain dari Kupang mencapai 279 kilometer atau tujuh jam perjalanan melalui darat. Hal ini yang sering kali menghambat pembangunan ekonomi di wilayah perbatasan.
Fery mengakui bahwa pembangunan di daerah perbatasan sangat terbatas seperti akses pendidikan bagi anak-anak, terutama keterbatasan tenaga pengajar.
Oleh karena itu, Fery bersama personel penjaga perbatasan berinisiatif mengajarkan anak-anak di wilayah tersebut berbagai materi pelajaran, dan tentu saja tidak bisa disamakan dengan sekolahan formal.
"Tantangan bagi kami dalam masalah sosial adalah warga di perbatasan tergolong ekonomi rendah, dan di bidang pendidikan masih memerlukan tenaga pengajar sehingga kami bantu dengan materi seadanya," kata Fery yang sudah tiga kali mendapat giliran menjaga daerah perbatasan, yaitu pada tahun 2007, 2011, dan 2013.
Mantan pengungsi Timor Timor Magdalena Suarez saat ditemui pada hari Kamis (21/11) di Desa Kabuna Kecamatan Kakulu Mesak Kabupaten Belu, NTT, mengatakan bahwa dirinya belum memiliki paspor untuk melintas batas ke RDTL karena tidak mampu membayar.
Padahal, menurut janda pensiunan TNI itu, dirinya masih memiliki keluarga di Timor Leste dan sudah tidak bertemu sejak dirinya memilih menjadi Warga Negara Indonesia setelah jajak pendapat tahun 1999.
Sedikit mengulas Magdalena sebagai eks pengungsi Timor-Timor, suaminya merupakan anggota TNI yang gugur dalam pertempuran di Timor Leste pada tahun 1994. Berbekal uang pensiunan senilai Rp1 juta, Magdalena menjalani hidup bersama empat orang anaknya di Desa Kabuna.
"Suami saya bernama Marcelo Gonzalves yang meninggal dalam usia 30 tahun, dan saya hidup mengandalkan uang pensiun," ujarnya.
Prajurit Perlu Bantuan
Udara dingin masih menyergap dan suara azan baru saja berkumandang saat sekitar 300 orang prajurit tempur dari Batalyon Yonif 744/ Satya Yudha Bhakti bersama Komandan Batalyon Letnan Kolonel Inf. Teddy Arifiyanto mulai melakukan senam pagi bersama di markas mereka di Atambua, NTT.
Pasukan tersebut baru 2,5 bulan pulang dari tugas pengamanan perbatasan dan pulau-pulau terdepan di perbatasan RI-RDTL yang sudah dijalani selama enam bulan.
"Rotasi pengamanan dilakukan tiap enam bulan sekali. Saat ini yang bertugas Batalyon Yonif 743/ Pradnya Samapta Yudha," ujar Letkol Teddy.
Kesiapsiagaan para prajurit di daerah perbatasan tetap saja diperlukan dan latihan rutin pun terus dijalani seperti biasa meskipun tugas pengamanan perbatasan dan pulau terluar tidak dengan dilakukan.
Hal itu dapat terlihat pada acara senam tersebut, semua prajurit membawa senjata yang dimaksudkan untuk tetap melatih dan menjaga kesiapsiagaan saat kondisi perang terjadi.
"Para prajurit pun harus siap sedia dengan ransel lengkap beserta senjatanya untuk tetap menjaga kesiapsiagaan mereka terhadap kondisi yang terjadi," tegas Teddy.
Pengamanan daerah perbatasan, khususnya di pulau-pulau terdepan, masih tetap terdapat persoalan yang serius setelah kencang terdengar mengenai kurangnya kesejahteraan prajurit yang bertugas, lalu muncul masalah fasilitas penunjang.
Teddy yang juga Komandan Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan Pulau Terdepan mengatakan bahwa salah satu kebutuhan krusial diperlukan prajurit perbatasan saat ini adalah mesin pengubah air laut menjadi air tawar.
Tentu saja kebutuhannya mendesak, khususnya bagi prajurit yang ditempatkan di pulau-pulau terdepan, seperti Pulau Batek, karena mereka harus menempuh perjalanan satu jam untuk mendapatkan air bersih di kawasan penduduk.
"Khususnya di Pulau Batek, prajurit harus menyeberang mengambil air tawar menggunakan jeriken dengan jarak satu jam dan waktunya lebih lama jika menggunakan kapal nelayan," kata Teddy.
Proses pengajuan mesin tersebut, menurut Teddy, sudah lama diajukan. Namun, hingga sekarang belum terealisasikan. Kendati demikian, kondisi itu tidak menyurutkan semangat para prajurit untuk menjalankan tugas mengamankan perbatasan RI-RDTL.
Komandan Komando Resor Militer (Korem) 161 Kupang Wirayudha Kolonel Inf. Achmad Yuliarto mengakui belum adanya mesin pengubah air laut menjadi air tawar tersebut. Namun, menurut dia, saat ini pengadaan itu masih dalam proses dan diharapkan tidak lama lagi bisa terealisasikan.
"Pengadaan mesin itu masih dalam proses. Namun, kesiapan anggota tetap 24 jam di daerah perbatasan dan pulau-pulau terdepan tidak pernah kendur," tegasnya.
Achmad yang baru menjabat Danrem 161 pada tanggal 6 November lalu, segera berkoordinasi dengan para pemimpin untuk pengadaan mesin tersebut setelah dirinya mengemban amanah tersebut.
Untuk itu, dia berharap Pemerintah dapat memahami kebutuhan para prajurit di daerah perbatasan, khususnya di pulau-pulau terdepan, terutama mengenai ketersediaan air bersih. Dia mengatakan saat ini ada 700 prajurit tempur dan 300 prajurit teritorial.
Sementara itu, kendala komunikasi masih dirasakan para prajurit di daerah perbatasan RI-RDTL saat menjaga 39 pos perbatasan kedua negara tersebut.
"Jaringan komunikasi di pos penjaga perbatasan kalah dengan jaringan Timor Leste. Oleh karena itu, kami harus jalan 1 kilometer untuk berkomunikasi," kata Komandan Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan RI-RDTL Mayor Inf. Budi Prasetyo di Belu, NTT, Kamis (21/11).
Dari 39 pos perbatasan RI-RDTL menurut Budi, belum semuanya mendapatkan jaringan telekomunikasi seluler yang baik.
Oleh karena itu, dia berharap operator seluler seperti Telkomsel dapat mendirikan "base transceiver station" (BTS) lebih banyak untuk memperkuat jaringan telekomunikasi di daerah perbatasan.
Budi mengatakan bahwa selama ini sebanyak 650 prajuritnya yang berada di perbatasan menggunakan "handy talky" (HT) dan telepon seluler untuk berkomunikasi. Namun, menurut dia, tiap pos perbatasan yang berkomunikasi tersambung dengan jaringan seluler dari RDTL sehingga banyak menghabiskan biaya.
"Apabila kami tetap menelepon, terkena 'roaming' dan jelas pulsa cepat habis," tegasnya.
Selain itu, menurut dia, para prajurit terkendala faktor alam, yaitu banyak pos penjagaan di sepanjang perbatasan dekat dengan sungai-sungai besar sehingga harus menunggu air surut agar bisa dilewati.
Kondisi itu, menurut dia, berdampak pada terkendalanya pengiriman logistik untuk para prajurit di pos perbatasan, bahkan hingga tertunda satu hingga dua hari karena menunggu air sungai surut.
Para prajurit perbatasan yang berasal dari Batalyon Yonif 743/PSY itu bertugas di perbatasan RI-RDTL mulai 1 September 2013 hingga 28 Februari 2014 untuk mencegah pelanggaran perbatasan, penyelundupan, dan terjadinya pasar gelap.
Selama 2,5 bulan bertugas, Satgas Pamtas RI-RDTL telah menggagalkan penyelundupan bahan bakar minyak bersubsidi sebanyak 9.133 liter.
"Sejak September hingga November 2013 kami telah menggagalkan penyelundupan 9.133 liter BBM, terdiri atas 3.545 liter premium, 3.505 liter solar, dan 2.083 liter minyak tanah," kata Dansatgas Pamtas RI-RDTL Mayor Inf. Budi Prasetyo.
Selain itu, Satgas juga telah menggagalkan penyelundupan 13 senapan rakitan campuran, enam granat tangan campuran, 109 butir amunisi campuran, dan satu buah mobil Toyota Innova.
Harmonisasi penjagaan perbatasan TNI dengan UPF dan permasalahan kebutuhan dalam menjaga wilayah kedaulatan NKRI merupakan hal yang selalu berkaitan. Jangan sampai kebutuhan para prajurit di perbatasan yang tidak terpenuhi berdampak pada hal yang tidak diinginkan oleh kedua negara.
Pemerintah dan para pengambil kebijakan di bidang militer serta pertahanan harus bertindak cepat dalam merespons kebutuhan dan persoalan di wilayah perbatasan.
Selain itu, peningkatan ekonomi masyarakat di daerah perbatasan dan pulau-pulau terdepan harus segera direalisasikan karena format otonomi daerah sudah dibuat sejak era reformasi bergulir dan seharusnya sudah memberikan hasil positif bagi rakyat.
Semoga secuil cerita di perbatasan itu bisa menandakan bahwa Indonesia bukan hanya Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, atau kota-kota besar lainnya. Banyak daerah perbatasan dan pulau-pulau terdepan perlu mendapatkan perhatian dan langkah konkret pemerintah untuk meningkatkan ekonomi masyarakat setempat. (Imam Budilaksono)