REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sebagai tulang punggung pendapatan negara, pajak memberikan lebih 70 persen kontribusinya bagi negara. Angka ini harusnya bisa terus dioptimalkan, mengingat saat ini rasio kepatuhan Wajib Pajak baru 53,7 persen. Salah satu upaya untuk mendorong tingkat kepatuhan ini melalui penegakkan hukum disektor perpajakan (law enforcement).
Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Prof. Satori Ismail mengungkapkan, upaya penegakkan hukum perpajakan dimulai dari petugas pemungut pajak di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. "Unsur manusianya yang harus diubah supaya takut dosa," katanya.
Penempaan moral petugas dan pegawai pajak dilakukan sebagai upaya menciptakan integritas bangsa. Integritas diperlukan demi membangun kepercayaan publik soal pengolahan uang rakyat ini.
Karena, menurut Satori, rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak ini juga dipicu rasa tidak kepercayaan publik kepada lembaga negara ini. Yang akhirnya menimbulkan keluhan dari masyarakat. "Kalau masih begini, kita bayar pajak tapi masih ada yang dikorupsi," katanya.
Selama ini, Satori juga menilai, kualitas sumber daya pegawai pajak belum maksimal. Apalagi saat ini, jumlah total pegawai pajak baru 30 persen dari jumlah ideal. Ditjen Pajak perlu mencari pegawai baru yang jujur dan mengerti tentang arti pajak. "Mau outsourcing nggak masalah, yang penting akuntabel dan transparan. Negara ini perlu penghematan," ujarnya.
Setelah tenaga pekerja, tugas lain yang perlu dilakukan pemerintah adalah soal transparansi publik. Berapa saja dana yang masuk, berapa yang keluar, programnya apa.
Misalnya, Satori mencontohkan, pemerintah Tangerang mendapatkan pemasukan dari pajak daerah dan retribusi daerah. Dengan jumlah pemasukan terhitung. Dana ini kemudian digunakan untuk pembangunan jalan atau fasilitas umum lainnya. Dan berapa persen yang terealisasikan. "Kalau bisa diakses masyarakat, bisa memperkecil korupsi dan memperbesar pendapatan. Masyarakat bisa mengkritisi," ujar Satori.
Dengan begitu, pemerintah bisa mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada publik. "Akuntabilitas tinggi, rakyat semangat membayar pajak," katanya.
Jika sudah menerapkan sistem transparansi publik, pemerintah juga harus bersikap tegas dalam menindak kasus-kasus penyelewengan pajak. Tindakan diberikan kedua sisi baik petugas pajak dan pembayar pajaknya. "Jangan sampai sebuah perusahaan yang punya hutang pajak lenyap (hutangnya) karena akuntan yang memeriksa bisa dilobi," tambahnya.
Hukuman penjara jadi salah satu yang efektif untuk menciptakan efek jera. Tapi sebelumnya, pemberian hukuman ini juga harus diikuti dengan aturan undang-undang yang kuat.
Saat ini, Ditjen Pajak sendiri menyiapkan tiga mekanisme untuk kegiatan law enforcement ini, yaitu pemeriksaan, penagihan dan penyidikan pajak. Hanya saja mekanismen ini menurut Satori, bisa diterapkan ketika masyarakat pembayar pajaknya mengerti tentang mekanisme tersebut.
"Jangan sampai jadi dzolim. Diberi pengertian dulu mengenai hak dan kewajiban mereka, setelah itu hukum ditegakkan," katanya.
Soal upaya penegakkan hukum, tahun 2012 lalu, Ditjen Pajak menggandeng Polri untuk bekerja sama menangani kasus-kasus perpajakan. Kesepakatan ini diharapkan proses penanganan kasus-kasus pidana perpajakan dapat berjalan lebih baik."Petugasnya (polisi) juga baik diberi pelatihan tentang pajak agar mengerti tentang pekerjaanya. Disisi lain dia harus amanah dan jujur," katanya.
Diatas semua itu, Satori juga meminta pemerintah bisa lebih bersikap aktif dalam upaya penegakkan hukum pajak. Jika ada indikasi yang tidak baik, petugasnya bisa langsung memeriksa dan menindaknya. Satori sendiri mengaku mau menegur jika ternyata ada orang terdekatnya yang melakukan tindak penyelewengan. "Saya akan tegur, masalah lapor biar petugas yang menelusuri sendiri. Karena kalau sudah lapor akan jadi saksi, sistem hukum disini yang membuat malas untuk laporin," katanya.
Kasus tindak pidana di bidang perpajakan sendiri masih cukup tinggi. Selama tahun 2008-2012, sebanyak 105 kasus telah dilanjutkan ke tahap penuntutan di pengadilan. Dengan 85 diantaranya divonis dengan putusan penjara dan total denda sebesar Rp 4,36 triliun.
Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), saldo piutang pajak per 31 Desember 2012 lalu mencapai sebesar Rp 70,72. Jumlah ini mengalami penurunan 18,53 persen dari tahun 2011 yang mencapai Rp 86,8 triliun.
Kasus tindak pidana selama ini didominasi oleh kasus faktur pajak fiktif dan bendahara. "Kalau seandainya seluruh potensi pajak dikelola dengan baik dan tidak bocor saya yakin negeri ini akan makmur," tutup Satori.