REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yusril Ihza Mahendra menceritakan kisahnya pada masa awal reformasi, 1998. Pada periode itu, Yusril turut terlibat dalam pembentukan Partai Bulan Bintang (PBB) dan dia mendapat kepercayaan untuk menjabat sebagai ketua umum.
Pada suatu hari, ceritanya, wartawan Washington Post datang ke Jakarta. Tujuannya untuk mencari Yusril yang baru terpilih sebagai Ketua PBB. Namun setelah bertemu, wartawan media asal Amerika Serikat itu ternyata meragukan sosok yang ditemuinya adalah Yusril.
"Saya perlu waktu 15 menit untuk meyakinkan mereka bahwa saya yang namanya Yusril Ihza Mahendra," kata dia, saat menjadi pembicara dalam diskusi 'PBB dan Masa Depan Politik Neo-Masyumi' di Jakarta, Ahad (24/11).
Menurut Yusril, kejadian itu tidak terlepas dari pencitraan partai Islam pada waktu itu dari media Barat. Wartawan Washington Post itu mengira sosok pemimpin partai Islam itu berjanggut dan mengenakan sorban. "Saya pakai jins begini. Ya perlu waktu 15 menit," kata Ketua Dewan Syura DPP PBB tersebut.
Situasi itu menjadi gambaran bagaimana pencitraan yang terbentuk. Yusril mengatakan, sesudah runtuhnya komunisme, muncul pandangan akan ada konflik baru antara Barat dan Islam. Presiden Amerika George Bush, juga memandang Islam dari satu sisi yang menciptakan pencitraan negatif.
Islam diidentikan dengan teroris dan ekstrimis yang melawan kepentingan Barat di mana pun. Pencitraan ini, yang salah satunya menjadikan posisi partai Islam tidak menguntungkan dalam dunia perpolitikan.