REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyesalkan sikap para jurnalis yang memboikot jumpa pers Komisi Pemberantasan Korupsi terkait pemeriksaan Wakil Presiden Boediono pada Senin (25/11).
"Aksi pemboikotan itu justru dapat menurunkan sikap profesionalisme jurnalis dalam menjalankan tugasnya dan menimbulkan kesan yang tidak baik di mata masyarakat," kata Ketua Umum IJTI, Yadi Hendriana, dalam keterangan pers yang diterima Antara di Jakarta, Selasa (26/11).
Yadi mengatakan jika memang terdapat kejanggalan dalam pemeriksaan Wakil Presiden Boediono oleh penyidik KPK di Kantor Wakil Presiden pada Sabtu (23/11), jumpa pers di Gedung KPK menjadi ajang untuk "mengadili KPK" terkait pemeriksaan yang terkesan tertutup.
"Dan jika ada kejanggalan dalam pemeriksaan itu, jurnalis bertugas untuk lebih proaktif menggali informasi dari berbagai narasumber sehingga ketidakberesan itu bisa terungkap secara jelas dan bisa diketahui oleh masyarakat luas," katanya.
Pemboikotan jumpa pers KPK, lanjut Yadi, mengakibatkan fungsi kontrol pers tidak berjalan. Pers sebagai pengawas akan tumpul jika kejadian itu terus terulang.
"Tugas para jurnalis adalah mencari berita sesuai fakta dan kebenaran di lapangan secara proaktif dan tidak pada posisi menekan siapapun untuk mengungkapkan kasus yang tengah ditangani," ujarnya.
Pada Senin, jurnalis yang bertugas di Gedung KPK melakukan boikot dengan keluar dari konferensi pers yang akan dilakukan Pimpinan KPK terkait pemeriksaan Wakil Presiden Boediono yang telah dilakukan di Kantor Wapres.
Aksi ini merupakan wujud protes para wartawan karena KPK dianggap menutup-nutupi pemeriksaan Boediono sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) Bank Century dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.