REPUBLIKA.CO.ID, WAYKANAN -- Politikus Partai Hanura Kabupaten Waykanan Provinsi Lampung Yozi Rizal mengingatkan agar para dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia memandang persoalan kriminalisasi dokter dengan etika dan kearifan agar tidak merugikan masyarakat luas.
"Jangan gara-gara keputusan hakim yang dianggap merugikan profesi dokter itu, lalu mengambil keputusan secara massal dengan menghukum setiap orang yang tidak bersalah. Seperti saat saya sakit, ternyata para dokter itu sedang mogok bekerja, berarti saya ikut dihukum juga 'dong," kata Yozi yang juga Ketua DPC Partai Hanura Waykanan itu di Blambangan Umpu, Rabu.
Persoalan kriminalisasi dokter yang memicu adanya aksi solidaritas dengan mogok para dokter secara nasional, menurut Wakil Ketua DPRD Kabupaten Waykanan itu, seharusnya dilihat pula aspek etika dan kearifannya, jangan melakukan sesuatu yang arogan dengan melakukan aksi mogok sehari yang berdampak buruk bagi pasien umumnya.
"Kenapa tidak melakukan tekanan pada lembaga peradilan jika dianggap kurang adil," ujar dia.
Ia menegaskan bahwa siapa yang dapat menjamin semua lulusan kedokteran saat melaksanakan tugas sebagai dokter akan beretika baik.
Persoalan tersebut, demikian Yozi, sebaiknya dipelajari dengan baik pula.
Menurut dia, berkaitan dengan kriminalisasi, dalam profesi kedokteran ada majelis kode etik kedokteran.
"Sebaiknya dilihat dahulu dari situ apakah dokter itu telah melanggar etik profesinya atau tidak. Jangan sampai keputusan hakim membuat orang tidak lagi kreatif melakukan penanggulangan penyakit," kata dia lagi.
Sejumlah warga Kabupaten Waykanan menilai aksi mogok dokter secara nasional tersebut luar biasa sehubungan menyangkut tanggung jawab sosial.
Warga Kampung Tiuhbalak Pasar Kecamatan Baradatu, Widyo Kuncoro, menyatakan bahwa tidak ada manusia yang kebal hukum, dan hal itu yang seharusnya dijunjung tinggi.
"Perbaikan sumber daya manusia dokter perlu dilakukan, artinya sumber daya manusia dokter yang mumpuni, bukan asal lulus sebagai dokter semata," kata Widyo lagi.
Berkaitan dengan adanya kriminalisasi profesi dokter itu, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Lampung Hernowo menyatakan bahwa pihaknya akan mendorong IDI Pusat untuk melakukan judicial review (peninjauan ulang) terhadap Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran karena dianggap belum bisa memberikan rasa aman bagi dokter dalam melaksanakan profesi mereka.
"Aksi ini sekaligus melemparkan wacana peninjauan kembali dua undang-undang tersebut. Sebab, dokter memerlukan rasa aman dalam menjalankan profesi mereka agar tidak ada lagi kriminalisasi terhadap dokter," kata dia, saat melakukan aksi solidaritas di Bandarlampung.
Menurut dia, dokter sudah memiliki organisasi profesi yang mengikat mereka dalam melakukan praktik medis, dan akan langsung diberi sanksi apabila melanggar.
"Tidak tepat apabila menggunakan undang-undang pidana karena, kalau itu yang terjadi, akan banyak dokter yang takut melakukan tindakan medis karena ancaman penjara membayangi mereka dalam melakukan tugas," kata dia.
Sementara itu, Ketua IDI Bandarlampung Boy Z. Zaini mengatakan bahwa tidak ada istilah malapraktik dalam dunia kedokteran karena dokter dalam memberikan tindakan medis pasti berpegang pada kode etik dan standar operasional baku kedokteran.
"Tidak ada malapraktik yang ada adalah konsekuensi medis, apa yang selama ini dipahami tidak tepat," kata dia.
Pria yang juga aktivis sosial ini juga mengatakan, kalau sudah menjalankan praktik dan tindakan medis sesuai dengan sumpah kedokteran dan kode etik, tidak boleh ada tindakan hukum atas apa yang telah mereka lakukan karena itu merupakan konsekuensi medis.
Dia menambahkan, apabila tindakan hukum terhadap tiga rekan mereka di Manado Sulawesi Utara dibiarkan, akan ada rasa ketidakamanan bagi para dokter dalam menjalankan profesi mereka.
Ratusan dokter di Lampung yang tergabung dalam IDI setempat melakukan "long march" ke Kantor Dinas Kesehatan setempat sebagai bentuk aksi solidaritas mereka terhadap kasus yang menimpa tiga rekan mereka di Manado.
Sebelum melakukan aksi tersebut, di Bandarlampung, mereka terlebih dahulu menandatangani spanduk yang bertuliskan pernyataan sikap pribadi terhadap kasus yang menimpa dokter Ayu.
Mereka melakukan aksi "long march" sejauh 500 meter setelah berkumpul di Wisma Haji komplek Masjid Al Furqon Bandarlampung, dengan mengenakan pita hitam di lengan kanan.