REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, Jaleswari berpendapat, tak heran jika Perdana Menteri Australia, Tony Abbott didesak meminta maaf kepada Indonesia terkait kasus penyadapan. Sebab, menurutnya, Negeri Kanguru tersebut sangat bergantung dengan Indonesia.
Indonesia, kata Jaleswari, memiliki jumlah penduduk yang sangat besar sehingga menjadi pasar yang potensial bagi Australia. "Jadi tidak usah heran, jika Abott langsung didesak oleh parlemen untuk minta maaf kepada Indonesia. Kenyataannya, warga negara Australia merasa kepentingan ekonomi mereka di Indonesia menjadi rusak akibat penyadapan itu," kata Jaleswari di Jakarta, Rabu (27/11).
Perdebatan soal penyadapan itu, ujar Jaleswari, bukan lumrah atau tidak penyadapan itu dilakukan intelijen. Meskipun Indonesia ingin menjaga hubungan baik dengan Australia, pemerintah tetap harus bersikap tegas kepada tetangga agar Indonesia dihargai.
Jaleswari mengatakan, jika di Jerman begitu tahu disadap pemerintah langsung membuat perubahan sistem teknologi, penguatan teknologi agar tidak mudah disadap. Kalau di Indonesia masyarakat yang marah duluan dengan bakar bendera, demo, 'sweeping', bahkan mengrentas situs Australia.
Di Australia sendiri, kata Jaleswari, banyak warga yang marah kepada Abbot ketika Australia menyadap. Sebab, ketika level hubungan Indonesia dan Australia diturunkan, maka keduanya sama-sama rugi.
Australia, masih kata Jaleswari, paling khawatir jika penyelundupan manusia perahu sampai merambah Australia. Makanya mereka membutuhkan bantuan Indonesia untuk mencegah manusia perahu ke Australia.