REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Ali Masykur Musa (AMM) menilai di abad ke-21 ini masih banyak kelompok yang belum menganggap kemajemukan sebagai rahmat hidup bangsa Indonesia.
Cak Ali, begitu Ali Masykur Musa akrab disapa, menambahkan, kenyataan sosiologis di Indonesia menunjukkan bahwa eforia reformasi telah melahirkan keping dengan dua sisi sekaligus.
''Sisi pertama kebebasan mendapatkan informasi melahirkan individualistik, di sisi yang lain juga melahirkan kekerasan komunal,'' ujarnya pada Diskusi Gerakan Integritas Nasional bertajuk "Tantangan Kemajemukan Indonesia dan Integrasi Sosial Abad XXI" di Gedung Newseum Indonesia Jakarta, Kamis (28/11/2013). Tampil pula Nathan Setiabudi dan Paulus Wirutomo sebagai pembicara.
Menurut Cak Ali, ekspresi fanatisme agama muncul dalam berbagai bentuk, bisa berupa ceramah dan tulisan penuh kecaman, hingga intimidasi fisik dan psikologis. Semuanya, kata dia, menimbulkan hilangnya rasa aman dan damai di bumi pertiwi Indonesia.
"Yang paling parah saat ini adalah maraknya radikalisme atas nama agama. Hal ini tidak boleh terjadi lagi," tegas Cak Ali
Oleh karena itu, Cak Ali menyebutkan religious literacy sebagai solusi harus dikembangkan, yaitu mengambil substansi nilai agama yaitu humanisme sebagai dasar bersosialisasi sesama manusia.
''Dengan cara ini, kita bisa memahami bahwa agama dan kemanusiaan adalah dua hal yang menyatu di dalam diri manusia. Tidak ada yang boleh untuk saling mengalahkan. Atas nama agama kemudian merendahkan kemanusiaan dan atas nama kemanusiaan lalu merendahkan agama. Keduanya adalah sesuatu yang sistemik dan holistik,'' paparnya.
Beragama yang benar, kata dia, harus menjunjung tinggi derajat kemanusiaan. Sedangkan, lanjut Cak Ali, erkemanusiaan yang benar harus didasari oleh substansi beragama.
''Jadi, mengakui fakta pluralisme, bersikap toleran, dan memperjuangkan kemanusiaan harus kita tingkatkan," tutup Cak Ali yang juga peserta Konvensi Capres Partai Demokrat.