Kamis 28 Nov 2013 20:31 WIB

Rezim Interim Mesir Penjarakan Perempuan dan Anak-Anak

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Heri Ruslan
Demonstran di Mesir
Foto: ROL
Demonstran di Mesir

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Undang-undang anti-demonstrasi di Mesir mulai menelan korban. Sejumlah aktivis perempuan di Provinsi Alexandria dipenjara 11 tahun lantaran menjalankan aksi 'nekat' berupa demonstrasi melawan pemerintahan interim. Aljazirah melansir, vonis terhadap aktivis perempuan itu jatuh pada Rabu (27/11).

Dalam dakwaan jaksa penuntut dikatakan, aktivis perempuan pendukung Presiden (terguling) Muhammad Mursi itu mengumpulkan massa anti-pemerintahan interim untuk membentuk rantai manusia menolak kudeta.Tidak ada kejelasan berapa jumlah para aktivis perempuan itu. Namun, tuntutan terhadap mereka diperberat lantaran aksi tersebut sudah direncanakan sejak awal bulan lalu melalui selebaran-selebaran protes.

Enam diantara aktivis perempuan dilabel sebagai aktivis perempuan dari sayap teroris. Yang terakhir ini dipenjara selam 15 tahun. Selain mereka, anak-anak kecil dan juga jadi korban aturan represif pemerintahan sementara.

Masih menurut Aljazirah, tujuh perempuan dibawah umur juga ikut ditahan. Vonis terhadap perempuan-perempuan belia itu adalah mengirimkan mereka ke tahanan anak. Tercatat diantara mereka adalah perempuan muda berusia 15 tahun.

Perdana Menteri interim Hezam el-Beblawi mengeluarkan aturan darurat yang represif tentang keamanan dan ketertiban di Mesir. Regulasi itu menyusul belum kondusifnya keamanan di Negeri Piramida itu pascaterbentuknya pemerintahan sementara.

Aturan itu berupa larangan semua aktivitas unjuk rasa dan demonstrasi. Sejak kudeta militer 3 Juli lalu, aktivitas demonstrasi di ibu kota Kairo, dan kota-kota di Mesir lainnya semakin trengginas.

Regulasi anti-demonstrasi itu dimaksudkan untuk menghalau kegiatan unjuk rasa yang dianggap anti-pemerintah interim. Namun perlawanan terhadap pemerintah interim itu semakin kencang.Kelompok Islamis dan kelompok non-agamis pun menganggap undang-undang itu adalah bentuk kediktatoran.

Sementara teriakan kencang pun diutarakan kelompok pegiat hak asasi internasional di Kairo. Bahkan di Washington, Amerika Serikat (AS), Gedung Putih mengaku kecewa dengan keluarnya aturan penghambat demokrasi itu.Akan tetapi, Beblawi tetap tidak peduli.

Dalam keterangan pers saat Rabu (27/11), Beblawi membela diri dengan mengatakan, undang-undang tersebut mengharuskan demonstrasi harus mendaftarkan diri ke pihak kepolisian. Itu dimaksudkan dia, agar pengunjuk rasa tidak anarkis.

Alih-alih menganggap aktivitas kebebasan menyatakan pendapat di jalanan itu sebagai bentuk kritik yang membangun. Beblawi justru menuduh aksi-aksi demonstrasi di Mesir dilakukan oleh kelompok-kelompok terorisme.

 Perkataan dia mengacu pada demonstrasi yang dilakukan kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) selama ini kerap menimbulkan bentrok keras.''Kabinet menegaskan, bahwa hukum sepenuhnya memberikan perlindungan bagi polisi dan pasukan keamanan,'' kata dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement