REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pemerintah Kabupaten Sleman kesulitan mengatasi gelandangan dan pengemis yang berkeliaran di wilayah setempat. Kesulitan tersebut terjadi karena tidak adanya anggaran dan payung hukum.
Kepala Seksi Penegakan Peraturan Perundang-undangan Satuan Polisi Pamong Praja Sleman, Rusdi Rais mengaku pihaknya sering melakukan operasi penertiban gelandangan dan pengemis. Operasi tersebut menjaring hingga ratusan gelandangan dan pengemis.
"Kami sering operasi tetapi yang terjaring orangnya sama," ujar Rusdi kepada Republika, Jumat (29/11).
Rusdi mengaku sudah bekerjasama dengan Dinas Sosial setempat untuk membina para gelandangan dan pengemis agar mendapat bekal keterampilan. Akan tetapi, Rusdi mengaku sulit mengendalikan pengemis yang masih kembali beroperasi setelah penertiban.
Pembinaan terhadap pengemis dan gelandangan diakui tidak dapat lama dilakukan karena terbatasnya anggaran. "Kami menertibkan lebih dari ratusan orang yang harus diberi makan. Ini kendala karena anggaran sehingga dua hari dilepas lagi," ungkapnya.
Menjamurnya gelandangan dan pengemis diakui terjadi karena banyaknya pemberi uang. Akan tetapi, Sleman belum memberi imbauan kepada masyarakat agar tidak memberi uang kepada gelandangan dan pengemis.
"Kalau Kota Yogyakarta sudah ada himbauan, Sleman belum ada. Tapi kenyataannya banyak yang masih memberi (uang)," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Komisi A DRPD Sleman, Rendradi Suprihandoko mengakui Sleman belum memiliki payung hukum yang mengatur pengendalian pengemis dan gelandangan. Aturan penertiban masih mengacu pada peraturan dari pemerintah pusat.
"Sleman mengacu pada peraturan ketertiban umum karena belum punya perda, aturan itu termasuk dari kementrian sosial," ungkapnya.
Meski demikian, DPRD Sleman mendesak agar ada payung hukum yang jelas untuk pengaturan gelandangan dan pengemis. Hal ini karena maraknya gelandangan dan pengemis mengikuti pertumbuhan perkotaan.