REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA.CO.ID-- Pendapat di atas beralasan pada hadis Nabi SAW yang diriwayatkan dari Sa‘labah Khasyani. Dalam hadis tersebut ia bertanya kepada Rasulullah SAW: ”Ya Rasululah, kami berada di kampung orang-orang ahlulkitab, apakah kami boleh makan memakai alat-alat (misalnya piring yang telah) mereka (pakai)?” Rasulullah SAW menjawab, “ Jika kamu bisa mendapatkan yang lain, selain dari alat yang mereka pakai itu, maka jangan kamu makan di situ. Tetapi, jika tidak ada yang lain lagi, maka basuhlah (terlebih dahulu), baru kamu makan di situ.” (HR. ad-Daruqutni).
Dalam riwayat lain dikatakan pula, ”Kami berkunjung kepada orang-orang ahlulkitab, mereka memasak daging babi dalam periuk mereka dan minum khamar dengan alat-alat (gelas) mereka. Rasulullah SAW menjawab, ”Jika kamu bisa mendapatkan yang lain, pakailah yang lain, tapi jika tidak ada yang lain, maka basuhlah dengan air, lalu makan dan minumlah di situ” (HR. Abu Dawud).
Sebaliknya Imam Rabi'ah Ar-Ra‘yi (guru Imam Malik), Lais bin Sa‘ad, Abi Ibrahim Ismail bin Yahya Muzani (ulama Mazhab Syafi‘i), sebagian ulama Baghdad kontemporer, dan Mazhab az-Zahiri mengatakan bahwa khamar adalah suci.
Pendapat ini beralasan pada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa para sahabat menumpahkan khamar di jalan-jalan Madinah ketika turun ayat yang menegaskan keharamannya. Seandainya khamar itu najis, tentu sahabat tidak melakukannya karena Nabi SAW akan melarangnya, akan tetapi ternyata Nabi SAW tidak melarangnya. Mereka menegaskan, kata rijsun dalam surah Ma’idah (5) ayat 90, kalau diartikan najis, maka yang dimaksud adalah najis hukmya (najis secara hukum), bukan najis ‘ain! (najis secara materi).
Menurut mereka, hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surah Taubah (9) ayat 28, ” sesungguhnya orang-orang musyrik itu adalah najis...” Di samping itu kata-kata rijsun tersebut juga menjadi sifat bagi maisirQudi), ansab (berkurban untuk berhala), dan azl m (mengundi nasib dengan panah). Namun, tak seorang ulama pun yang menyatakan benda-benda tersebut adalah najis 'ain.
Diantara ulama kontemporer yang berpendirian bahwa khamar itu suci adalah Muhammad bin Ali Syaukani (pengarang kitab hadis Nail Authar). Demikian pula Muhammad Rasyid Rida dalam kitab Tafsir Manar, menyatakan ketidaknajisan alkohol dan khamar serta berbagai parfum yang mengandung alkohol atas dasar tidak adanya dalil sarih (tegas) tentang kenajisannya.
Atiah Saqr (ahli fikih Mesir) dalam bukunya Islam wa Masyakil hajah (islam dan Masalah Kebutuhan) mengemukakan bahwa mengingat alkohol kini sudah banyak digunakan untuk berbagai keperluan (seperti medis, obat-obatan, parfum dan sebagainya), maka ia cenderung mengambil pendapat yang mengatakan kesuciannya, karena pendapat ini sesuai dengan prinsip yusr (kemudahan) dan ‘adam haraj (menghindarkan kesulitan) dalam hukum Islam.