REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Keluarnya sebuah telegram rahasia mengatasnamakan Kapolri Jendral Polisi Sutarman, terkait kembali ditundanya Polwan boleh menggunakan jilbab, menjadi perdebatan di masyarakat.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Almuzzammil Yusuf mempertanyakan kebenaran adanya Telegram Rahasia (TR) yang melarang Polisi Wanita (Polwan) untuk mengenakan jilbab sebelum ada Surat Keputusan (SK) tetap dari Kapolri.
Jika benar, telegram rahasia itu bertentangan dengan pernyataan Kapolri sebelumnya. ''Bila itu benar, kami tentu saja kecewa dengan Kapolri. Kami minta agar Kapolri tidak plin-plan dan segera mengklarifikasi kebenaran kabar tersebut.'' jelasnya kepada Republika, (30/11).
Menurut Politisi PKS ini, setelah Kapolri membolehkan Polwan berjilbab banyak masyarakat yang mengapresiasi keberanian Kapolri ini.
Apresiasi bagi Kapolri Sutarman ini dikarenakan, ia membolehkan Polwan jilbab meskipun SK belum dikeluarkan. Tapi dengan adanya telegram rahasia ini, maka langkah yang diambil Kapolri telah melukai umat Islam.
''Kami berharap kabar itu tidak benar. Untuk itu sebaiknya Kapolri segera menerbitkan SK yang membolehkan Polwan berjilbab.'' ujarnya.
Lebih lanjut Muzzammil mengungkapkan, sesuai kesepakatan dengan Komisi III DPR RI, Kapolri secara tegas mengatakan dibolehkannya Polwan jilbab.
Hal itu karena jilbab merupakan hak asasi beragama yang dijamin Undang-Undang kepada para Polwan. Adapun mengenai biaya seragam jilbab untuk sementara diserahkan kepada masing-masing Polwan sampai adanya anggaran dari APBN.
Karenanya, ia berharap tidak ada pihak yang dengan sengaja mereduksi niat baik Kapolri untuk menjunjung tinggi hukum dan HAM di tubuh Polri.
Muzzammil juga berharap masyarakat turut mendukung dan mengawal kebijakan Kapolri yang membolehkan Polwan berjibab.
Ia mengajak elemen umat Islam untuk meminta Kapolri memberi penjelasan telegram rahasia ini. ''Mari kita tunjukkan solidaritas dukungan kita kepada Kapolri agar beliau konsisten dengan kebijakannya.'' imbuhnya.
Sementara itu, Pimpinan Aktivis Muda Muhammadiyah Mustofa B. Nahrawardaya menyangsikan telegram itu keluar langsung dari Kapolri. Sebab, komitmen awal Sutarman ketika menjadi Kapolri tulus membolehkan Polwan menggunakan jilbab.
Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah ini menilai ada upaya dan desakan dari pihak yang tidak senang dengan Islam. "Saya berharap Kapolri tidak mudah dikendalikan oleh kelompok intoleran yang bertujuan memecahbelah Umat."
Sebab, jelas dia, dalam telegram rahasia itu tertulis, 'Keputusan untuk menggunakan jilbab dintunda sambil menunggu SK.
Semestinya, kata dia, tidak perlu perintah menanggalkan jilbab bagi Polwan apabila memang ada keinginan dibuat seragam khusus di waktu mendatang. "Ini bisa memecah belah umat."
Jilbab yang dikenakan para Polwan sebagai sambutan positif atas anjuran Kapolri Berjilbab Tanpa menunggu Aturan belum lama ini jelas sebuah respon positif dari segenap aparat Polwan di kepolisian.
Tetapi perintah pencopotan Jilbab saat ini jelas sebuah langkah blunder paling memalukan dan paling melukai bagi Umat yang dilakukan Polri.
Kepada Umat Islam di seluruh Indonesia, pihaknya meminta merapatkan barisan. Tidak boleh sedikitpun ada celah diantara barisan. Kuatkan tali, eratkan pegangan. Polri adalah pengayom dan pelindung serta pelayan Umat.
Jika Polri tidak lagi berkenan menjadi pengayom dan pelindung serta pelayan Umat, kepada siapa Umat Islam akan mengadu? Kepada Ormas Islam khususnya NU dan Muhammadiyah, ini saatnya bersatu membendung gerombolan intoleran yang mencoba membodohi Polri.