Senin 02 Dec 2013 16:40 WIB

Negara Gagal Perbaiki Struktur Pasar Pangan

Rep: Meiliani Fauziah/ Red: Nidia Zuraya
Stok Pangan (Ilustrasi)
Foto: BERITA JAKARTA
Stok Pangan (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat masih dibayangi harga pangan yang stabil tinggi. Permasalahan ini dikatakan timbul akibat pasar pangan yang tidak simetris. "Elastisitas transmisi harga terlalu rendah," ujar Ketua Pokja Dewan Ketahanan Pangan, Bustanul Arifin dalam Simposium Pangan Nasional di Indofood Tower, Senin (2/12).

Masalah ini lalu menimbulkan efek domino. Dimana sistem rantai nilai komoditas pangan  tidak efeisen. Lalu, biaya transaksi rantai nilai pangan juga amat tinggi. Akhirnya, fenomena kartel pun menggurita, terutama untuk pangan impor.

Negara pun dinilai tidak mampu memperbaiki struktur pasar pangan. Tawaran opsi kebijakan yang ada, menurut Bustanul, juga ditunggangi pemburu rente. Pangan impor pun bermunculan karena harganya  jauh lebih murah dari produk domestik.

Agar kondisi ini tidak berlarut, maka diperlukan pembenahan sistem informasi harga, informasi pasar dan teknologi baru untuk mengurangi inefisiensi sistem rantai nilai pangan. Sistem perdagangan di tingkat lapangan pun perlu diawasi agar konsumen dan produsen bisa mendapatkan harga pangan terbaik.

Selain masalah struktur pasar, politik pangan yang diterapkan di negara ini tidak jelas arahnya. Pembangunan pertanian pun telah terpinggirkan secara politik. Bahkan ia melihat bahwa target swasembada pangan agak menyesatkan dan untuk kepentingan politis semata. "Target swasembada ini jadi pemicu langkah yang kontraproduktif kalau dilihat dari banirjirnya pangan impor," katanya. 

Pemerintah harus segera memperbaiki kebijakan yang ada karena tantangan nilai pangan akan semakin kompleks. Tahun depan misalnya, target swasembada akan dilihat hasilnya.

Dari lima komoditas yang ada, Bustanul melihat kesulitan untuk memenuhi target salah satunya gula, yang target produksinya sudah direvisi menjadi 3,1 juta ton. Ia pun menyarankan agar target direduksi kembali menjadi swasembada gula konsumsi. Hal ini melihat kebutuhan gula industri masih dipenuhi dari impor.

Khusus untuk komoditas beras, Bustanul melihat kecendrungan produksi beras tinggi saat tahun pemilu. Ia juga melihat produksi beras Indonesia lebih tinggi dari Thailand sejak tahun 2010."Kalau begini terus, impor beras bisa lebih menggiurkan," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement