REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kota Pelabuhan Tripoli di Lebanon Utara akan jadi zona militer dan Angkatan Darat akan bertugas mengendalikan kota tersebut selama enam bulan, kata Penjabat Perdana Menteri Najib Miqati kepada wartawan pada Senin (2/12).
Menurut kantor berita resmi Lebanon, National News Agency (NNA), Miqati menegaskan, "Keputusan itu ... sejalan dengan pasal empat hukum pertahanan di negeri ini."
Miqati, bersama dengan Presiden Michel Suleiman dan Kepala Staf Angkatan Darat Jean Qahwaji, pada Senin membahas situasi yang memburuk di kota pelabuhan Lebanon Utara tersebut, demikian laporan Xinhua, Selasa pagi. Ia menekankan perlunya untuk mengendalikan letusan kerusuhan baru-baru ini dengan meningkatkan keamanan.
Sedikitnya 12 orang telah tewas dalam bentrokan antara permukiman Sunni, Bab Et-Tebbaneh, dan wilayah Alawi, Jabal Mohsen.
Pertempuran tersebut meletus pada Sabtu (30/11), ketika seorang wara Jabal Mohsen menjadi korban paling akhir dalam serangkaian penembakan terhadap masyarakat Alawi di kota itu.
Korban jiwa akibat bentrokan sektarian di Tripoli, Lebanon, itu telah naik jadi enam dan 23 lagi cedera.
"Enam orang tewas dalam bentrokan hari ini dan jumlah korban jiwa diperkirakan akan bertambah sebab beberapa orang yang cedera berada dalam kondisi kritis," kata satu sumber keamanan lokal kepada Xinhua.
Pada Sabtu pagi, Direktorat Bimbingan Militer Lebanon mengatakan bahwa tujuh orang cedera, termasuk seorang Letnan Satu yang berada dalam kondisi kritis.
Ketegangan terus meningkat di Tripoli, Lebanon, sejak Kamis (28/11), dan kegiatan penembak gelap terjadi lagi pada Jumat, ketika seorang warga Jabal Mohsen ditembak di kakinya di daerah Al-Beddawi Al-Mankoubine.
Sebelumnya, Miqati menegaskan Lebanon takkan ragu dalam mengambil semua keputusan yang diperlukan guna menghindari memburuknya keamanan di Tripoli. Ia mengatakan pasukan keamanan akan menangani pelanggar hukum dengan tegas.