REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Gerindra meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperpanjang masa perbaikan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Setidaknya, hingga dua pekan sebelum hari pemungutan suara.
"Kami belum setuju penetapan hari ini, kami minta tunda terus sampai dua minggu sebelum pencoblosan. Tapi dalam masa perbaikan itu libatkan kami juga," kata Ketua DPP Partai Gerindra Bidang Advokasi, Habiburokhman di kantor KPU, Jakarta, Rabu (4/12).
Ia mengatakan, respon KPU terhadap kacaunya DPT selama ini mengecewakan. Karena hingga saat ini masih terdapat tiga persoalan besar yang dianggap Gerindra belum terselesaikan.
Pertama, terkait temuan Gerindra yang menunjukkan 3,7 juta pemilih yang diduga ganda. Dari jumlah tersebut, kegandaan nama, jenis kelamin, tanggal lahir yang terduplikasi mencapai 8.545.427 pemilih.
Meski telah disampaikan, sayangnya KPU tidak memberikan respon yang diharapkan. KPU tidak juga melakukan pengecekan lebih lanjut mengenai indikasi kegandaan yang disampaikan Gerindra.
"Harusnya KPU tidak sekedar mengecek di pusat data KPU, tapi juga melakukan pengecekan di lapangan. Untuk memastikan tidak ada kegandaan, dan pemilih dengan elemen pemilih yang sama itu benar-benar orang yang berbeda," ujar Habiburokhman.
Kedua, ujarnya, KPU tidak menjelaskan proses perbaikan terhadap 10,4 juta pemilih nomor induk kependudukannya dinyatakan bermasalah. Walau disebutkan telah dilakukan koreksi terhadap tujuh juta pemilih, KPU tidak menyampaikan proses perbaikan NIK yang dilakukan.
Selain itu, KPU juga meminta kemendagri untuk memberikan NIK terhadap 3,3 juta pemilih yang belum tertuntaskan. Menurut Habiburokhman, pemberian NIK akan menghasilkan persoalan baru. Sebab, bisa saja pemilih tersebut telah memiliki NIK sebelumnya. "Artinya ada potensi pemilih ganda lagi," kata dia.
Persoalan ketiga, yaitu tidak bisanya partai politik dan masyarakat sebagai pemangku kepentingan mendeteksi pemilih ganda dan masalah lainnya. KPU memang memberikan data DPT dalam bentuk cakram (hard disk external). Namun datanya berbeda dengan yang dimunculkan di sistem informasi daftar pemilih (Sidalih) di laman KPU.
Alhasil, parpol tidak bisa membaca data hingga tingkat kabupaten/kota. Bahkan untuk data pemilih tingkat kecamatan tidak bisa dideteksi sama sekali. "Ibarat penyakit, parpol dan publik hanya tahu gejala DPT di luar. Tapi seberapa parah penyakit DPT itu hanya KPU dan Tuhan yang tahu," ujar Habiburokhman.