REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pada hari ini (Kamis, 5/12), pemerintah resmi menaikan tarif tol dalam kota. Hal ini dinilai sebagai kebijakan yang gegabah. Karena, pemerintah mengabaikan pemenuhan standar pelayanan minimal dan tidak memperhitungkan laju inflasi.
Anggota Komisi V DPR, Yudi Widiana Adia mengatakan pemerintah telah mengambil kebijakan yang salah. "Saya menyayangkan langkah pemerintah yang menaikan tarif tol yang hanya mengacu pada kenaikan inflasi tanpa memperhatikan SPM. Tol masih suka macet tapi tariff naik. Pemerintah telah gegabah mengambil kebijakan karena kenaikan tarif tidak memberikan rasa keadilan pada konsumen,” paparnya, Kamis (5/12).
Menurut Yudi, berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, yaitu Pasal 48 ayat (3) kenaikan tarif tol memang dapat dilakukan setiap dua tahun. Namun, hal itu tidak hanya didasarkan pada laju inflasi, tapi juga dari hasil evaluasi atas pemenuhan SPM dan sebagainya.
Ia mengatakan masalah inflasi ini tidak bisa jadi tolok ukur utama, karena UU ini juga mensyaratkan adanya evaluasi setiap dua tahun sebelum melakukan penyesuaian tarif. Evaluasi mengacu pada terpenuhi atau tidaknya SPM jalan tol seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005. “Ini antrean di gerbang tol saja masih panjang bahkan ada jalan tol yang berlubang, kok tariff dinaikan,” kata Yudi.
Karena itu, Yudi meminta jika dalam sebulan ke depan, SPM tidak dipenuhi, seperti tol masih macet dan kecepatan masih dibawah 60 km per jam, antrean panjang di gerbang tol, lampu penerangan minim dan jalan masih ada yang rusak, tarif tol harus diturunkan kembali. Seperti diketahui, mulai 5 Desember 2013 tarif jalan tol dalam kota Jakarta (Cawang-Tomang-Grogol-Pluit) naik sekitar 14 persen. Dengan kenaikan ini, berarti tarif tol dalam kota menjadi Rp 8.000 dari sebelumnya Rp 7.000 atau naik 14,29 persen (untuk golongan I).