REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan jawaban atas nota keberatan dari penasihat hukum advokat kantor Hotma Sitompoel and Asscociates, Mario Cornelio Bernardo. Dalam pledoinya, penasihat hukum Mario sempat memmasalahkan soal penyadapan yang dilakukan KPK.
Penasihat hukum Mario menilai surat dakwaan dan tuntutan jaksa berdasar hasil penyidikan yang tidak sah. Karena bukti petunjuk, berupa hasil sadapan telepon, transkrip pembicaraan telepon, dan transkrip SMS banyak yang dilakukan dan diperoleh sebelum 24 Juli 2013.
Padahal Surat Perintah Penyelidikan terhadap Mario baru dikeluarkan pada 24 Juli. "Dalil pembelaan tim penasihat hukum terdakwa terhadap masalah ini sangat keliru," kata jaksa Antonius Budi Satria, saat membacakan replik, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (5/12).
Antonius mengakui kalau Surat Perintah Penyelidikan Nomor Sprin-Lidik-52/01/06/2013 terhadap Mario baru dikeluarkan pada 24 Juli. Namun, sebelumnya pada tahap penyelidikan juga sudah diterbitkan Sprinlidik Pimpinan KPK Nomor Sprin-Lidik-40/01/06/2013 tertanggal 7 Juni 2013. Surat itu yang menjadi dasar hukum bagi KPK untuk melakukan tindakan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam tahap penyelidikan.
Kemudian, lanjutnya, berdasarkan Pasal 45 ayat 1 UU Nomor 30/2002 tentang KPK, penyelidik menemukan bukti permulaan yang cukup akan terjadinya dugaan tindak pidana korupsi. Karena itu, perkara ditingkatkan statusnya ke tahap penyidikan dengan landasan Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprin.Dik-44/01/07/2013 tertanggal 26 Juli 2013. "Dengan demikian penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap pekara a quo telah dilakukan oleh KPK secara sah menurut hukum," ujar dia.
Antonius juga menjelaskan, KPK berwenang untuk melakukan penyadapan. Kewenangan itu tertuang dalam Pasal 12 ayat 1 huruf a UU tentang KPK. Dalam ketentuan itu, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan sejak tahap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Dengan landasan hukum yang ada, jaksa menilai pembelaan tim kuasa hukum Mario harus ditolak atau dikesampingkan. "Karena tidak memiliki dasar hukum yang jelas," kata dia.
Jaksa menolak seluruh dalil Mario atau pun penasihat hukumnya dalam nota keberatan. Dengan ini, jaksa menegaskan tetap pada tuntutannya. Yaitu, hukuman pidana penjara lima tahun. Mario juga dituntut membayar denda Rp 200 juta subsidair enam bulan kurungan. Juga menuntut Mario dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk menjadi penasihat hukum.
Dalam tuntutannya, jaksa menilai Mario bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto (jo) Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Jaksa menyebut Mario terbukti telah memberikan uang senilai Rp 150 juta kepada pegawai Mahkamah Agung (MA) Djodi Supratman.
Pemberian dana itu terkait dengan pengurusan kasasi perkara pidana atas nama terdakwa Hutomo Wijaya Ongowarsito di MA. Mario disebut meminta bantuan agar Hutomo bisa dihukum penjara sesuai dengan memori kasasi jaksa.