REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama dinilai setengah hati dalam menilai dan menghargai pencatat pernikahan. Sebabn dalam rencana anggaran 2014 biaya pencatatan nikah tidak termasuk prioritas.
Di Jawa Timur, pencatat pernikahan yang tersebar di kecamatan-kecamatan protes keras terkait uang pemberian pasangan yang menikah yang dianggap gratifikasi.
"Pada rapat kerja Komisi VIII DPR RI dengan Menteri Agama, saya pernah menyampaikan agar Kementerian Agama RI memprioritaskan penyediaan anggaran untuk biaya pencatat nikah di luar kantor," kata Anggota Komisi VIII DPR dari Golkar Tubagus Ace Hasan Syadzily kepada Republika, Jumat (6/12).
Sayangnya, hingga saat ini alokasi untuk hal tersebut masih dianggap tidak penting. Menurut Tubagus, Kementerian Agama harus bertanggung jawab atas demonstrasi para penghulu ini. Lantaran mengganggu pelayanan masyarakat.
Mereka sudah menentukan tanggal pernikahan. Namun, saat dibicarakan ke penghulu yang ada di KUA kecamatan, mereka kemudian menolak. Alasannya, tidak ada pencatatan nikah di hari libur. "Ini tidak baik. Kasihan keluarga yang sudah menentukan tanggal jauh-jauh hari," kata Tubagus.
Wasekjen DPP Golkar ini pernah menyampaikan usulan jika Pemerintah tidak dapat menganggarkan biaya untuk para pencatat nikah ini, maka pemerintah harus menetapkan standar resmi pungutan dari masyarakat. "Biasanya dipungut Rp 30 ribu. Nah, silakan ditentukan lagi. Jika hari biasa berapa. Jika hari libur berapa," papar Ace.
Demontrasi dan mogok para penghulu diawali oleh tuduhan bahwa biaya tambahan pencatatan nikah dari masyarakat dianggap sebagai bentuk gratifikasi. Tentang tuduhan gratifikasi ini pernah juga disampaikan Irjen Kementerian Agama RI, M. Jasin.
Seharusnya, anggapan atau tuduhan gratifikasi bagi penghulu atau pencatat nikah KUA ini diikuti dengan kebijakan anggaran yang memadai bagi mereka yang disediakan oleh Kementerian Agama.