REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengungkapkan bahwa pasar keuangan yang belum dalam di negara berkembang termasuk Indonesia memberi andil terhadap gejolak nilai tukar rupiah. "Kedalaman pasar keuangan ini menyangkut likuiditas di pasar, semakin dalam pasar keuangan semakin besar likuiditasnya," kata Mirza saat membuka pelatihan wartawan perbankan di Gedung BI Jakarta, Jumat (6/12).
Ia menyebutkan volume perdagangan atau transaksi di pasar uang Indonesia saat ini hanya sekitar 500 juta dolar AS per hari. Jumlah ini lebih rendah dari transaksi di negara maju seperti yen Jepang yang mencapai triliunan dolar AS.
Mirza menuturkan ada dua hal yang mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Selain kondisi likuiditasnya, faktor lain yang mempengaruhi adalah kondisi fundamental ekonomi.
Menurut dia, upaya yang harus dilakukan dalam jangka panjang adalah membuat pasar keuangan lebih dalam sehingga likuiditas naik dan memperbaiki fundamental ekonomi seperti menjaga neraca transaksi berjalan tetap baik, inflasi terkendali dan lainnya. Ia menyebutkan jika dua faktor tersebut membaik maka nilai tukar rupiah juga akan membaik.
"Jadi jangan khawatir melihat pergerakan rupiah, yang penting fundamental ekonomi dan likuiditas diperbaiki," katanya.
Mengenai dampak tapering off, Mirza mengatakan negara-negara berkembang memiliki ketergantungan pada pasar keuangan global. "Fund manajer asing memegang sekitar Rp 320 triliun obligasi negara kita, jadi apa yang terjadi di luar akan berpengaruh," katanya.
Menurutnya, selama mereka lihat pemerintah dan BI membuat respon yang tepat, investor asing akan memberi respon positif. "Mereka yang sudah keluar akan menunggu waktu yang tepat untuk kembali," katanya.
Mirza juga meminta agar para eksportir membantu meningkatkan likuiditas pasar keuangan dengan membawa devisa hasil ekspornya ke Indonesia. "Dengan nilai rupiah yang mendekati Rp 12 ribu per dolar AS tentu eksportir sudah memperoleh keuntungan cukup besar," katanya.