REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia rentan disimpangkan oleh para petualang politik yang niatannya hanya memikirkan kepentingan atau kekuasaannya sendiri saja, tidak berniat memajukan negeri.
Wiwieq, sapaan akrab peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Dr. Siti Zuhro, M.A., ketika dihubungi dari Semarang, Ahad (8/12), mengatakan pada 2013 merupakan tahun yang penuh dengan penyimpangan atau distorsi politik.
"Berdemokrasi kita tak diikuti dengan etika politik yang cukup sehingga perilaku yang ditunjukkan negatif dan tidak meneladani," kata dosen tetap pada Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Riau itu.
Bahkan, ia melanjutkan, Pancasila sebagai landasan bernegara tak lagi menjadi tatanan nilai luhur yang dipegang teguh oleh para elite politik, elite birokrasi/pemerintah, dan elite penegak hukum.
Dengan kondisi seperti itu, kata Prof. Wiwieq, 'civil society' perlu lebih giat lagi mendorong terjadinya konsolidasi demokrasi dengan melibatkan semua komponen yang ada.
Ia berharap semua komponen yang ada, baik mahasiswa akademisi/ intelektual, profesional, media, lembaga swadaya masyarakat/ aktivis/ organisasi sosial kemasyarakatan, maupun organisasi sosial keagamaan menjadi pengawas (watch dog) dan pengawal bagi terselenggaranya Pemilu 2014 yang jujur dan adil (jurdil) serta damai.
Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember, Jawa Timur, itu memandang perlu dibentuk 'relawan pemilu' dengan memerankan pemilih pemula-yang jumlahnya mencapai sekitar 20 persen dari total pemilih yang ada-menjadi garda terdepannya.
Pemilih pemula menjadi simpul atau pengikat soliditas gerakan 'pemilih cerdas' yang relatif belum terkontaminasi oleh politik uang dan aktivitas politik yang mendistorsi demokrasi, katanya.