REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Masyarakat diminta untuk mengurangi perilaku konsumtif. Pasalnya, kondisi saat ini dapat membahayakan upaya pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dalam menurunkan defisit transaksi berjalan. Selain itu, pengamat menengarai adanya kecenderungan masyarakat menggunakan dana simpanannya untuk kegiatan konsumsi.
Berdasarkan data statistik ekonomi dan keuangan Indonesia BI, total simpanan masyarakat pada Oktober 2013 menurun sebesar Rp 17 triliun dari bulan sebelumnya. Penurunan ini terjadi pada semua jenia simpanan yakni simpanan rupiah dan valuta asing (valas). Secara tahunan, simpanan masyarakat masih tumbuh 13,01 persen, yakni dari Rp 3.032 triliun pada Oktober 2012 menjadi Rp 3.427 triliun pada Oktober 2013. Namun, laju simpanan ini turun jauh jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 38 persen.
Di saat yang sama, suku bunga dana baik tabungan, giro, dan deposito bergerak naik. Kenaikan tersebut seiring dengan naiknya BI rate sebesar 175 basis poin (bps) sejak Juni 2013 ke level 7,5 persen. Dengan kata lain, tingkat konsumsi di tanah air masih sangat tinggi meski inflasi tahun ini tinggi yakni tercatat 8,37 persen year to date (ytd).
Ekonom dari Universitas Indonesia (UI), Lana Soelistianingsih, mengatakan kondisi ini patut diwaspadai oleh pemerintah. Pasalnya, warga negara rela menggerus simpanannya untuk kegiatan konsumsi. "Aneh, dengan bunga yang tinggi kenapa simpanan turun? Seharusnya suku bunga naik akan membuat masyarakat meningkatkan simpanannya di bank. Ini bisa berbahaya dalam pengendalian impor," ujar Lana di Bandung pada akhir pekan lalu.
Konsumsi yang tinggi dapat menyebabkan impor tinggi sehingga kinerja perdagangan nasional berpotensi negatif. Defisit transaksi berjalan yang saat ini berada pada level 3,8 persen terhadap PDB akan membengkak. "Pemerintah harus mewaspadai hal ini. Mengajak masyarakat untuk mengubah gaya konsumtifnya. Kalau mereka masih menerapkan pola konsumsi yang lama, mereka bisa menggerus tabungan," ujar dia.
Lana mengatakan rencana pemerintah untuk mengendalikan impor konsumsi dengan mengeluarkan kebijakan pajak penghasilan (PPh) 22 dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) efektif untuk mengendalikan konsumsi. "Itu membantu kurangi impor dibarang konsumsi. Ya sedikit banyak membantu lah. Misalnya 7 persen dari porsi impor bisa turun jadi 5 persen ya lumayan. Itu mungkin membantu," ujar dia.
Dalam revisi aturan PMK tersebut, pemerintah rencananya akan menaikkan PPh 22 untuk perusahaan dengan izin Angka Pengenal Impor (API) dari 2,5 persen menjadi 7,5 persen dari nilai impor. Tanpa izin API, besaran pajak masih berlaku tetap yakni 7,5 persen.