REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meluncurkan buku "Benturan NU-PKI 1948-1965" di Gedung PBNU, Jakarta, Senin (9/12) siang.
Buku setebal 208 halaman yang diterbitkan PBNU tersebut ditulis intelektual NU yang juga menjabat Wakil Sekretaris Jenderal PBNU, Abdul Mu'in DZ, dengan editor Enceng Shobirin dan Adnan Anwar.
Menurut Mun'in, penulisan buku itu penting dilakukan, apalagi secara periodik banyak kelompok yang melakukan pembelaan terhadap PKI dan sebaliknya menyalahkan NU dan TNI, termasuk laporan Majalah Tempo edisi Oktober 2012, yang mewakili pandangan Barat pada umumnya, baik Amnesty Internasional maupun Mahkamah Internasional.
"Mereka tidak mau tahu bahwa saat itu terjadi perang saudara, maka tidak ada pelaku tunggal atau korban tunggal. Baik NU maupun PKI sama-sama pelaku pertempuran dan sama-sama menjadi korban dalam pertempuran itu," kata Mun'in.
Yang memprihatinkan, saat ini banyak kalangan NU, terutama generasi mudanya, yang tidak lagi mengenal sejarah NU sehingga mengikuti cara berpikir orang lain, baik akademi maupun politisi, yang memojokkan NU terkait tragedi 1965.
"Tidak hanya tidak bisa membela NU, tetapi malah menyalahkan diri sendiri, menyalahkan para ulama NU," ucap Mun'im.
Menurut Mun'im, buku "Benturan NU-PKI" mencoba mendudukkan serangkaian peristiwa panjang sejak 1926 ketika PKI mulai memberontak dan kaitannya dengan pemberontakan PKI Madiun 1948 hingga pemberontakan PKI 1965 merupakan satu rangkaian yang agenda, strategi, serta pelakunya sama, yang berkesinambungan dalam sebuah estafet yang rapi dan terencana.
Mun'im mengatakan buku "Benturan NU-PKI" memaparkan tragedi 1965 dari sudut pandang NU. Menggali dan memaparkan apa yang apa yang dialami, dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan para kiai, santri, dan pimpinan NU dalam menghadapi PKI sebagai kelompok "bughot" (subversif).
Berbeda dari buku-buku lain, di dalam buku "Benturan NU-PKI" terpampang tulisan "Buku Ini Tidak Dilindungi Hak Cipta, siapa saja boleh mengutip dan menggandakan buku ini sebagian atau keseluruhan serta menyebarkannya tanpa harus seizin penulis atau penerbit".
"Itu memang kami sengaja," kata Ahmad Khoirul Anam, asisten peneliti dalam proses penyusunan buku itu.