REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konferensi Tingkat Menteri WTO (KTM-WTO) Bali resmi ditutup. Kesepakatan telah dihasilkan. Gita Wiryawan selaku ketua konferensi nyatakan bahwa konferensi berhasil. Dianggap berhasil karena KTM Bali menghasilkan paket Bali yang menjadi pemecah kebekuan putaran Doha setelah 12 tahun.
"Benarkah KTM WTO berhasil? Jika pun iya keberhasilan bagi siapa? Jika melihat paket Bali yang dihasilkan sebenarnya pantas juga kita pertanyakan keberhasilan yang dimaksud. Paket Bali yang berisi tiga kesepakatan besar soal ketahanan pangan, pengurangan hambatan perdagangan dan fasilitasi perdagangan bagi Negara-negara miskin," kata pengamat pertanian Said Abdullah kepada ROL dalam siaran persnya, Senin (09/12).
Atas hasil ini, Manager Advokasi dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) ini menilai justru menunjukkan kegagalan. Indonesia berhasil dalam pelaksanaan KTM WTO namun gagal dalam hal substansi perundingan. Hal ini terlihat dari ketiadaan kehendak memperjuangkan dan melindungi nasib petani dan pangan dalam negeri.
“Undang-undang pangan yang baru mengamanatkan dengan jelas pencapaian kedaulatan pangan. dengan menyetujui dan munculnya paket Bali jelas menodai amanat undang-undang” ujar Said. Paket Bali menghasilkan kesepakatan salah satunya, soal batasan pemberian subsidi pertanian bagi negara berkembang. Sampai empat tahun ke depan, negara berkembang masih bisa memberikan subsidi di atas 10 persen. Namun setelahnya tak boleh lebih dari 10 persen saja.
Menurut Said, kesepakatan ini jelas melukai konstitusi dan perasaan petani. Betapa tidak, Indonesia selaku ketua G33 malah tidak lebih teguh dari India yang menjadi anggotanya. India ngotot melindungi petani dan pertaniannya. Indonesia, kata dia, sepertinya tak punya niat yang kuat untuk memperjuangkan hal itu.
"Sulit membayangkan nasib petani dan pertanian Indonesia 10 tahun ke depan. Sekarang saja saat aturan batasan subsidi belum dilakukan pemerintah tak cukup serius memberikan dukungan, apalagi nanti,” tambahnya.
"Subsidi pertanian dalam kurun lima tahun terakhir hanya sekitar 30 triliun saja. Coba bandingkan dengan subsidi Uni Eropa yang menganggarkan 1300 triliun rupiah untuk menyubsidi petaninya atau Amerika sebesar 1100 triliun rupiah."
Menurut Said, Indonesia harusnya tak termakan oleh tekanan dan skenario negara-negara maju yang menginginkan pengaturan subsidi di negara berkembang. Pada sisi ini, Indonesia gagal sebagai bangsa yang di bentuk untuk mampu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya.
Pembatasan subsidi kepada petani diyakini akan semakin membenamkan petani dan sektor pertanian. Indonesia pada akhirnya hanya akan menjadi bulan-bulan produk negara lain. Apalagi jumlah penduduknya yang besar, merupakan pasar potensial.
Menurut Sadi, Saat ini saja kinerja sektor pertanian Indonesia terus menurun yang dicirikan peningkatan impor dan penurunan ekspor. Hingga 2012 laju impor mencapai 22 juta ton dengan nilai 20 miliar USD. Padahal tahun 2009 impor di sektor pertanian hanya 13 juta ton dengan nilai 13 miliar USD saja.
"Seharusnya Indonesia sadar akan situasi ini sehingga berusaha sekuat tenaga melindungi kepentingan dalam negeri sebagai bagian dari harga dirinya. Jika pemerintah tidak melakukan itu maka sesungguhnya Indonesia sedang “menjual” nasib 91,91 juta jiwa petani atau 26,13 juta rumah tangga petani, komponen terbesar rakyat Indonesia kepada perusahaan dan negara maju," pangkasnya.