REPUBLIKA.CO.ID, OSLO -- Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) menerima Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini di Oslo, Selasa (10/12), dengan harapan hadiah tersebut bisa mempercepat penghapusan senjata kimia secara global.
"Menghapuskan senjata senjata adalah satu perjuangan mulia dan saya melihat tidak ada alasan bagi negara manapun untuk tidak melakukannya", kata Direktur Jenderal OPCW Ahmet Uzumcu, Senin. Organisasi itu adalah satu contoh yang jarang dari perlucutan senjata global.
"Dalam waktu dekat kami mengharapkan dapat melakukannya pada seluruh kategori senjata, senjata kimia," kata ketua Komite Nobel Norwegia, Thorbjoern Jagland.
Larangan global bagi produksi dan penyimpanan senjata kimia diberlakukan tahun 1997, dan 190 negara telah menandatangani Konvensi Senjata Kimia (CWC). Mereka melaporkan lebih dari 98 persen dari penduduk dunia, dan lebih dari 80 persen dari seluruh senjata kimia yang diumumkan telah dimusnahkan, tetapi enam negara masih dibujuk.
Israel dan Myanmar telah menandatangani konvensi itu tetapi belum meratifikasinya, sementara Angola, Mesir, Korea Utara dan Sudan Selatan tidak melakukannya. "Di antara enam negara itu, kami tahu beberapa dari mereka sangat dekat untuk menjadi anggota," kata Uzumcu, seperti dilansir dari AFP.
"Saya dengan tulus mengharapkan negara-negara lain itu) akan mempertimbangkan kembali dan bergabung dengan konvensi senjata kimia ini," tambahnya.
Amerika Serikat dan Rusia telah berjanji menghapuskan senjata-senjata kimia mereka tetapi gagal dipenuhi sampai batas waktu tahun 2012 untuk melakukan itu. Keputusan untuk menyerahkan hadiah Nobel Perdamaian itu kepada OPCW menimbulkan sorotan pada organisasi yang sebelumnya, menurut pengakuannya, tidak banyak dikenal di luar kalangan diplomatik.
Penghargaan itu datang pada saat ketika badan itu menghadapi tugas-tugas logistik paling menantang di Suriah, yang menjadi anggota organisasi itu Oktober. Tindakan itu mencegah serangan pasukan pimpinan Amerika Serikat setelah satu serangan gas syaraf yang menewaskan ratusan orang di pinggiran Damaskus 21 Agustus.