REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Paket kebijakan ekonomi yang diumumkan pemerintah dinilai tidak memiliki sasaran yang jelas. Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Arif Budimanta menjelaskan paket kebijakan seharusnya memiliki tujuan yang ingin dicapai, entah itu merespon gejolak nilai tukar rupiah, mengatasi defisit neraca transaksi berjalan maupun permasalahan-permasalahan lainnya.
"Jangan sampai kebijakan malah mengganggu fundamental ekonomi," ujar Arif kepada ROL, Rabu (11/12).
Pemerintah telah mengumumkan paket kebijakan ekonomi jilid II, sebagai lanjutan dari paket kebijakan ekonomi yang diumumkan Agustus silam, Senin (9/12). Paket kebijakan ini terdiri dari penyesuaian tarif pemungutan pajak penghasilan (PPh) pasal 22 atas impor barang tertentu dari semula 2,5 persen menjadi 7,5 persen dan fasilitas pembebasan dan pengembalian bea masuk atas impor untuk tujuan ekspor (d/h KITE).
Menurut Arif, pemerintah seharusnya telah mengetahui sumber-sumber permasalahan dari pelemahan nilai tukar rupiah seperti repatriasi keuntungan perusahaan multinasional dan tingginya utang swasta. Demikian juga dengan masalah yang melingkupi neraca transaksi berjalan seperti tingginya impor minyak. "Apakah kebijakan ini sudah menjawab? Itu dilihat gak?," tanya Arif.
Lebih lanjut, Arif mengaku terkejut dengan pengumuman paket kebijakan lanjutan ini mengingat paket kebijakan ekonomi pertama belum seluruhnya direalisasi. "Contohnya kenaikan PPnBM (pajak penjualan atas barang mewah). Sampai sekarang tidak ada realisasinya. Sekarang tahu-tahu, tahap dua. Paket yang kemarin saja dulu direalisasikan," kata Arif.