REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Pakar Hukum Pidana UNRI, Erdianto Effendi, mengatakan pelaku perusakan hingga menimbulkan kerugian saat demonstrasi serta menghancurkan barang, melakukan tindak kekerasan dan mengakibatkan luka-luka dan kematian diancam lima hingga 12 tahun penjara.
"Oleh karena itu penegak hukum atau kepolisian tidak perlu ragu menindak para pengunjuk rasa dan hal ini antara lain sudah diatur dalam pasal 170 KUHP tentang pelanggaran," kata dia di Pekanbaru, Rabu (11/12).
Ia mengatakan itu terkait apa yang harus dilakukan penegak hukum dan pengelola layanan publik (pemerintah pusat dan daerah) jika penyampaian aspirasi oleh organisasi tertentu berdampak pada perusakan dan mengganggu ketertiban umum yang berujung pada kerugian finansial pada layanan publik dan masyarakat.
Menurut Erdianto, Pasal 170 KUHP mengisyaratkan bahwa unjuk rasa yang berakibat pada perusakan fasilitas umum dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran.
Artinya, barang siapa secara terang-terangan dan secara bersama-sama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan (KUHP 336), dan yang bersalah diancam pertama dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, bila la dengan sengaja menghancurkan barang atau bila kekerasan yang digunakan itu mengakibatkan luka-luka.
"Yang bersangkutan bisa diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun bila tindak kekerasan itu mengakibatkan luka berat," katanya. Dia mengatakan, bisa juga mereka diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, bila kekerasan itu mengakibatkan kematian (KUHP 487).
Sementara itu, dalam pasal 73 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang kebebasan dalam menyampaikan pendapat dinyatakan bahwa hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Ia menambahkan bahwa pasal 28 UUD 1945 telah menjamin bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. "Namun, HAM yang dianut dalam UUD 1945 adalah yang tidak bersifat absolut atau tidak terbatas. Batasan atas HAM itu hanya dapat dilakukan dengan Undang-undang," katanya.