REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurunnya perekonomian menekan penerimaan pajak 2013. Realisasi penerimaan hingga 6 Desember sebesar 81,87 persen dan diperkirakan tidak akan mencapai target sebesar Rp 995,214 triliun hingga akhir tahun. Pada periode yang sama tahun lalu, pencapaian pajak telah mencapai 85,35 persen dari target Rp 835,225 triliun.
Dirjen Pajak Fuad Rahmany mengakui, sulit untuk menutupi kekurangan sekitar 18 persen pada tahun ini, walaupun penerimaan pada akhir tahun biasanya melonjak. Rendah atau bahkan minusnya pertumbuhan domestik bruto sejumlah lapangan usaha amat berpengaruh pada penerimaan pajak tahun ini. ‘’Misalnya pada bidang pertambangan,’’ ujar Fuad dalam pertemuan dengan sejumlah pemimpin redaksi media massa di Jakarta, Rabu (11/12) malam.
Pada kurun 2011-2012, sektor pertambangan dan penggalian mengalami pertumbuhan hingga 14,85 persen. Pertumbuhan itu sangat membantu mendorong penerimaan pajak 2012. Sementara, pada 2012-2013 pertumbuhan produk domestik bruto sektor tersebut hanya mencatat angka 0,50 persen. Bahkan pada sektor minyak dan gas bumi mencatatkan angka minus 1,15 dan pertambangan bukan migas mengalami pertumbuhan negatif 1,32 persen. Hanya penggalian yang masih mencatatkan pertumbuhan 12,93 persen.
Fuad mengakui terjadi peningkatan tinggi penerimaan pajak pada sejumlah sektor usaha. Sektor konstruksi, misalnya, pertumbuhan tahun ini mencapai 26,29 persen. Demikian pula sektor real estat yang mencapai 33,13 persen. Namun, sumbangan pajak dari kedua sektor itu terhadap penerimaan total tidak besar.
Sektor-sektor penyumbang pajak terbesar seperti pertambangan pada 2013 justru mengalami kemerosotan. Ini sejalan dengan tren penurunan harga komoditas yang terjadi, misalnya pada batu bara, nikel, aluminium, minyak sawit, emas, dan tembaga.
Fuad mengatakan perlunya terobosan untuk menggali pajak dari sektor-sektor yang tumbuh seperti konstruksi, jasa keuangan, transportasi, dan perdagangan. Namun, berbeda dengan sektor tradable seperti tambang, sektor-sektor tersebut memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak karena berhubungan dengan jumlah wajib pajak yang banyak namun nilai pajaknya kecil-kecil.
Ia mencontohkan, potensi pajak dari perdagangan di Pasar Tanah Abang Jakarta sangat tinggi. Namun, selama ini potensi tersebut tak tergarap dengan baik karena keterbatasan tenaga pajak.
Untuk menggali pajak dari perusahaan tambang besar, katanya, cukup dengan dua tenaga bisa dapat hingga Rp 10 triliun. Tapi, di Tanah Abang, dua orang tenaga pajak hanya akan dapat penerimaan dalam hitungan juta saja.
Namun, menurut Fuad, justru sektor seperti itulah yang lebih stabil mendukung perekonomian bangsa. Karena itu, ia berharap, Ditjen Pajak memperoleh tambahan tenaga secara signifikan untuk menggali potensi pajak dari sektor yang tumbuh tinggi dan stabil tersebut.