REPUBLIKA.CO.ID, SEMANGGI -- Miris, seperti yang dijabarkan Kepala Bidang Advokasi dan Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Muhammad Isnur, terhadap kasus RW (22 tahun), seorang mahasiswa di Indonesia.
RW merupakan korban dugaan pemerkosaan yang dilakukan oleh Sitok Srengenge yang membuatnya hamil tujuh bulan. Ketika RW melapor, sangkaan terhadap Sitok hanya sebatas perbuatan tidak menyenangkan, yaitu Pasal 335 KUHP dengan hukuman pidana penjara maksimal satu tahun penjara atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Ia mengakui, sulitnya mencari saksi dalam kasus pemerkosaan karena hanya diketahui oleh korban dan pelaku diperburuk dengan banyaknya keterbatasan dalam hukum pidana di Indonesia. ''Memang dalam hukum pidana kita punya keterbatasan, hukum tidak bisa melihat masalah yang sebenarnya dalam hubungan relasi kuasa dalam hubungan seperti ini,'' kata dia, Senin (12/12).
Ia membandingkan dengan hukum di Australia yaitu ketika sesorang menghamili orang lain maka langsung dipotong gajinya buat kehidupan anak dan perempuan ini. Namun menurut dia bukan ini intinya. Isnur memilih untuk keadilan yang harus didapatkan oleh korban setidaknya dalam laporan dan sangkaan pasal kepada pelaku. ''Penentuan pasal itu sebenarnya ada di Jaksa, karena Dominus Litis pengenaan ada di jaksa. Itu idealnya,'' kata Isnur.
Dominus Litis merupakan asas keaktifan hakim. Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak yang tidak berimbang. Namun, dalam penegakan hukum tersebut aparat banyak yang menyalahi aturan. Termasuk ketika dalam pemberkasan atau pemeriksaan.
Menyalahi aturan ini berujung kepada pelecehan kembali korban yang mendapatkan tindakan asusila oleh aparat penegak hukum. ''Iya justru sering kali, aparat penegak hukum malah kembali melecehkan korban. Sering penegak hukum nanya, 'apakah anda menikmati?'' kata Isnur. Ia menjelaskan, proses pemeriksaan atau pertanyaan seperti itu seharusnya tidak boleh dilakukan, karena itu merupakan proses yang sangat menyakitkan buat korban.