REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Pendidikan Arif Rahman mengapresiasi langkah pemerintah untuk tidak memasukkan mata pelajaran bahasa Inggris dan TIK dalam kurikulum SD. Menurutnya, tidak semua anak-anak di Indonesia membutuhkan bahasa Inggris maupun TIK.
"Begini, kurikulum itu jangan berisi dengan mata pelajaran yang tidak ada gunanya. Sebab hal itu malah memberatkan anak-anak," kata Arif di Jakarta, Kamis, (12/12).
Anak-anak di daerah terpencil, pelosok, bahkan di hutan tidak membutuhkan bahasa Inggris. "Jadi tidak ada gunanya jika bahasa Inggris dijadikan mata pelajaran wajib bagi anak-anak di pelosok tersebut, makanya memang tidak perlu dimasukkan ke kurikulum," ujar Arif.
Bahasa Inggris dan TIK, terang Arif, tidak dibutuhkan secara nasional. Jadi sebaiknya bahasa Inggris dan TIK dijadikan muatan lokal atau pelajaran ekstra kulikuler saja.
Posisi bahasa Inggris di Indonesia itu, kata Arif, berbeda dengan posisi bahasa Inggris di Malaysia, India, dan Singapura. Bagi negara-negara tersebut bahasa Inggris merupakan bahasa kedua, kalau di Indonesia tidak.
"SD di Cakung belum tentu butuh bahasa Inggris, berbeda dengan SD di Menteng yang mungkin anak-anaknya sering berinteraksi dengan warga asing, makanya butuh bahasa Inggris. Bahasa Inggris itu cukup diajarkan di SMP dan SMA untuk mengantarkan mereka agar bisa membaca buku bahasa Inggris saat kuliah," terangnya.
Kalau Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes), ujar Arif, memang penting dan dibutuhkan oleh semua anak. Penjaskes harus diwajibkan di SD agar Indonesia memiliki generasi muda yang sehat. "Di Amerika, anak nilai olah raganya enam tidak lulus, semua orang harus sehat," ujarnya.