REPUBLIKA.CO.ID, GAZA CITY -- Banjir yang disebabkan hujan deras memaksa 40 ribu penduduk Gaza Strip meninggalkan rumah mereka. Ribuan warga diangkut dengan menggunakan perahu dan truk militer.
Hujan deras yang mulai mengguyur pertengahan pekan lalu merupakan akibat dari badai yang menutupi sejumlah wilayah di Israel dan Tepi Barat dengan salju. Salju lebat melumpuhkan Yerusalem dan memutus aliran listrik.
Stasiun televisi Israel menayangkan personel militer yang menolong pemotor di jalanan. Badai salju ini diklaim yang terburuk dalam satu dekade. Bahkan Gaza yang memiliki iklim lepas pantai yang hangat juga dilanda salju. Namun, wilayah yang lebih rendah dilanda banjir.
Sayangnya, proses penyelamatan terhalang langkanya bahan bakar dan pemadaman listrik bergilir yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Israel juga memperketat akses ke Gaza sejak Hamas berkuasa. Namun, Israel mengirim diesel sebagai penghangat dan empat pompa air.
"Begitu badai berakhir, dunia harus menekan secara efektif untuk menghentikan blokade Gaza. Penduduk Gaza harus terbebas dari tekanan manusia sehingga bencana alam seperti ini bisa diatasi," ujar juru bicara PBB di Gaza Chris Gunness, Ahad (15/12).
Wilayah terparah banjir adalah Nafak Street di Gaza City yang dekat dengan penampungan air hujan. Salah satu warga Said Halawa mengatakan penampungan air tidak sanggup menampung air hujan pada Rabu. Pada Kamis, air telah menggenangi lantai satu rumahnya dimana Halawa tinggal bersama 41 kerabatnya.
Mereka kini berada di sekolah yang disulap menjadi lokasi pengungsian. Namun, tidak sempat menyelamatkan harta benda. Di penampungan, anak-anak tidur di meja dan di lantai dengan beralaskan matras. Lainnya berkumpul di sekitar api unggun di luar untuk sekadar menghangatkan tubuh.
Wilayah yang terparah lainnya adalah kamp pengungsian Jebaliya di utara Gaza. Televisi lokal Al Aqsa milik Hamas menayangkan Perdana Menteri Ismail Haniyeh dan Menteri Dalam Negeri Fathi Hamad mengunjungi Jebaliya dengan perahu.