REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Kepala Kejaksaan Negeri Praya (Nusa Tenggara Barat), Subri dan pengusaha asal Jakarta, Lusita Ani Razak sebagai tersangka suap.
Mereka ditangkap terkait kasus terkait dengan pengurusan perkara tindak pidana umum dalam pemalsuan sertifikat tanah di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Komisi Kejaksaan (Komjak) meminta agar jaksa Subri dihukum berat seperti jaksa Urip Tri Gunawan.
"Menurut saya tidak ada kata lain selain dihukum berat karena seorang penegak hukum yang sudah sadar hukum tetapi tetap melanggar hukum jelas hukumannya lebih dua kali dari pada masyarakat biasa," kata salah satu komisioner Komjak, Kamilov Sagala dalam pesan singkat kepada wartawan, di Jakarta, Senin (16/12).
Kamilov menjelaskan, kasus penangkapan terhadap jaksa Subri seperti fenomena gunung es yang artinya masih banyak yang belum terungkap kasus-kasus seperti ini. Menurutnya, antara KPK dengan Komjak sudah memiliki nota kesepahaman atau MOU terkait pengawasan jaksa.
Namun, tambahnya, belum ada realisasi nyata dari pelaksanaan nota kerjasama ini baru hanya tahap administrasi kerja seperti Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) Kejaksaan yang ditembuskan ke Komjak.
Ia mengakui pihaknya masih belum aktif dalam menanggapi laporan dari masyarakat. Seharusnya Komjak lebih proaktif kepada KPK terkait banyaknya laporan masyarakat kepada Komjak. "Komjak masih 'kedinginan' dalam panasnya kasus korupsi di negeri kita," kritiknya.
Kasus ini berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan tim penindakan KPK terhadap Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Praya, Subri dan seorang pengusaha perempuan asal Jakarta, Lusita Ani Razak dalam kamar di sebuah hotel di Pantai Senggigi, Lombok, Nusa Tenggara Barat pada Sabtu (14/12) pukul 19.19 WITA.
Dalam penangkapan, KPK mendapatkan uang dalam bentuk dolar AS dan Rupiah dengan total sebesar Rp 213 juta dalam beberapa tas kecil.