REPUBLIKA.CO.ID, Ledakan jumlah penduduk mengancam Indonesia. Pemerintah pun berupaya mengendalikan laju pertumbuhan penduduk melalui program keluarga berencana (KB). Pemerintah menawarkan beragam alat kontrasepsi bagi kaum wanita atau pria untuk mengerem pertambahan penduduk.
Salah satu alternatif kontrasepsi yang ditawarkan bagi kaum hawa adalah sterilisasi alias tubektomi. Tubektomi berasal dari kata tuba yang berarti saluran telur wanita dan ektomi berarti membuang atau mengangkat. Kini, definisinya sudah diperluas dengan pengertian sterilisasi tuba.
Tubektomi adalah metode kontrasepsi permanen berupa pemblokiran saluran tuba, sehingga sel telur tidak bisa masuk ke dalam rahim. Cara memblokir saluran tuba dapat dilakukan dalam beberapa cara, bisa mempergunakan implan, klip atau cincin serta dengan memotong atau mengikatnya.
Lalu bagaimana hukum Islam memandang kontrasepsi melalui cara tubektomi? Masalah KB dengan menggunakan kontrasepsi jenis ini telah mendapat perhatian para ulama di Tanah Air sejak 31 tahun lalu. Pada 13 Juni 1979, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang diketuai KH M Syukri Ghozali telah memutuskan bahwa tubektomi hukumnya haram.
Fatwa haram tubektomi itu ditetapkan dengan tiga alasan: Pertama, pemandulan dilarang oleh agama. Kedua, tubektomi dipandang sebagai salah satu usaha pemandulan. Ketiga, di Indonesia belum dapat dibuktikan bahwa tubektomi dapat disambung kembali.
Masalah tersebut kembali dibahas para ulama dalam Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa se- Indonesia III 2009 di Padangpanjang, Sumatera Barat. Dalam pertemuan itu dibahas tentang adanya temuan baru di dunia kedokteran berupa rekanalisasi (penyambungan ulang).
Namun, para ulama berpendapat bahwa rekanalisasi itu tidak menjamin pulihnya tingkat kesuburan yang bersangkutan. ‘’Oleh sebab itu, Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia memutuskan vasektomi/tubektomi hukumnya haram,’’ papar fatwa tersebut.