REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Obat-obatan dalam dunia kesehatan memiliki arti penting untuk kesembuhan pasien, meski terdapat kontroversi jika bahan-bahan farmasi tersebut mengandung enzim lemak babi yang haram bagi umat Islam.
"Karena keterbatasan, terkadang dokter harus memberikan obat-obatan untuk pasien, meski di dalamnya memiliki unsur dari tubuh babi," kata Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Profesor Hasbullah Thabrany, dalam sebuah diskusi tentang RUU Produk Jaminan Halal (RUU PJH) di kawasan Tebet, Jakarta, Senin (16/12).
Menurut Profesor Hasbullah, produk industri farmasi yang mengandung lemak babi tidak bisa disetarakan begitu saja statusnya, sebagaimana makanan dan minuman.
"Bagaimana keadaannya jika dalam keadaan darurat hanya ada obat manjur dengan kandungan babi? Tentu hal ini akan menjadi dilema apakah boleh atau dilarang bagi seorang Muslim," tuturnya.
Hasbullah memiliki pandangan terkait obat yang terdiri dari unsur babi berdasarkan pada Alquran Surat Al-Baqarah ayat 113.
"Menurut saya dalam keadaan darurat boleh dipakai dan itu tidak masalah," katanya.
Pernyataan senada diucapkan Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi) Darojatun Sanusi. Ia berkata, RUU PJH harus mengakomodir kepentingan industri farmasi.
"Produk farmasi berbeda dengan makanan dan minuman. Pembuatan produknya harus melewati proses yang ketat tidak seperti makanan dan minuman," katanya.