REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Senin (16/12), menyatakan, pemberlakuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sebagai syarat utama ekspor produk kehutanan, masih diragukan.
Hal tersebut disebabkan adanya persyaratan berupa sertifikasi Forest Stewardship Council (FSC) yang berlaku di seluruh dunia. Skema FSC membuat persyaratan pemasaran produk kehutanan, khususnya pulp dan kertas, menjadi lebih ketat.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan, walaupun para eksportir produk kehutanan telah memiliki SVLK, sudah selayaknya mereka pun memiliki sertifikasi FSC. Tujuannya jelas agar produknya diterima.
"Kalau SVLK kan ketentuan dari kita sebagai negara yang memiliki sumber daya itu. Sedangkan FSC adalah dari negara yang mengimpor. Mereka (eksportir) harus punya kedua-duanya," kata Bayu di kantor Kemenko Perekonomian, Rabu (18/12).
Bayu mengibaratkan, skema SVLK dan FSC seperti KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan visa.
"Kalau KTP itu wajib untuk seluruh penduduk Indonesia. Ini kan sama dengan SVLK. Tapi, kalau anda mau ke luar negeri, masuk suatu negara tertentu, harus punya visa (FSC). Itu urusan negara itu. Jadi, ini dua hal yang tidak bisa diperbandingkan. Anda kalau sudah punya paspor Indonesia, tapi untuk masuk negara tertentu, dia masih syaratkan visa," papar Bayu.
Dikutip dari artikel di laman Pusdiklat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, SVLK merupakan sistem pelacakan kayu yang disusun secara multistakeholder kehutanan untuk memastikan legalitas sumber kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia.
Proses yang transparan dan sistem yang dihasilkan diharapkan dapat memastikan akuntabilitas dan tata kelola hutan yang baik dan akan meningkatkan kredibilitas kayu Indonesia di Pasar Internasional.
Pembahasan SVLK dimulai 2003 dan rampung 2009.Sedangkan FSC, berdasarkan keterangan di laman heart of borneo, adalah suatu lembaga akreditasi internasional terhadap lembaga sertifikasi yang melakukan dan memberikan sertifikat pada hasil hutan kayu berdasarkan kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari yang ditentukan oleh FSC.
Sertifikasi FSC bertujuan menyediakan informasi yang kredibel antara produksi yang bertanggung jawab dan konsumsi hasil hutan, memungkinkan konsumen dan pebisnis untuk membuat keputusan pembelian yang bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan.
Mantan wakil menteri Pertanian ini pun menyebut ekspor ke negara-negara Eropa tidak memerlukan FSC. Sebab, keberadaan SVLK telah diakui seiring penandatanganan perjanjian kemitraan sukarela Voluntary Partnership Agreement (VPA).
"SVLK-nya sudah diterima, diakui. Jadi, tidak ada masalah dalam hal ini. Kalau misalnya spesific buyer di Eropa masih mensyaratkan FSC, itu balik lagi. Business to business," ujar Bayu.