Ahad 22 Dec 2013 16:48 WIB

Khalifah yang Berhaji dengan Berjalan Kaki

Red: Damanhuri Zuhri
Jamaah Haji di Masjidil Haram
Foto: Antara
Jamaah Haji di Masjidil Haram

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ani Nursalikah

Dialah satu-satunya khalifah yang membebani dirinya dengan kewajiban yang sangat keras.

Harun Ar-Rasyid tidak pernah lupa melaksanakan ritual ibadah agamanya. Setiap pagi, dia memberikan 1.000 dirham untuk amal dan melakukan shalat 100 rakaat (masing-masing disertai banyak bacaan zikir dan doa) setiap hari.

Dia berhaji ke Makkah menggunakan unta sebanyak tujuh kali. Jaraknya 1.750 mil dari Baghdad, pergi pulang. Ibadah haji itu dimulai pada tahun setelah dia naik takhta. Haji yang kedelapan dari Rakkah (di Suriah) ke Makkah dengan berjalan kaki.

Jika kita membayangkan jarak yang dilalui dan keadaan gurun kering yang tidak ramah yang harus dia jalani, kenyataan ini saja akan memberikan gagasan mengenai tenaganya yang sulit ditaklukkan dan kegigihan karakternya, tulis seorang sejarawan.

Dialah satu-satunya khalifah yang membebani dirinya dengan sebuah kewajiban yang sangat keras. Barang kali, dialah satu-satunya yang memaksa dirinya melaksanakan begitu banyak sujud dengan shalat hariannya.

Benson Bobrick dalam The Caliphs Splendor: Islam and the West in the Golden Age of Baghdad menuliskan, saat perjalanan haji, Harun juga memberikan harta dalam jumlah sangat besar kepada penduduk Makkah dan Madinah.

Dua kota paling suci dalam Islam. Tidak lupa, Harun al Rasyid juga memberikan kepada para jamaah haji yang miskin selama dalam sperjalanan.

“Selalu ada sejumlah orang zuhud yang ia biayai dalam rombongannya. Ketika pada tahun tertentu ia tidak bisa berangkat haji sendiri, dia mengirimkan beberapa wakil yang berkedudukan tinggi bersama 300 pegawai. Semua biaya, ia yang menanggung,” kata Bobrick.

Stempelnya berukirkan tulisan Harun tawakal pada Tuhan. Dalam praktiknya, dia tampaknya menjelmakan keyakinan bahwa haji adalah salah satu dari lima pilar agama.

Pemerintahannya juga membangkitkan kembali arti penting tempat-tempat suci. Alasan-alasan politik mengubah ibadah haji ke Makkah menjadi sebuah peristiwa propaganda yang mengesankan.

Khaizuran, sang ibunda, mengikuti jejaknya. Pada 788 M ia melakukan perjalanan hajinya sendiri sebagai ibu suri. Dalam perjalanan itu, ia memberikan sumbangan kepada rakyat dalam jumlah sangat besar.

Dalam berkali-kali kesempatan, dia memerintahkan pembangunan sebuah tempat bernaung, pancuran air, atau sebuah masjid di sepanjang rute perjalanan haji.

Dia tampaknya juga merupakan orang pertama yang mengadopsi gagasan untuk melestarikan bangunan-bangunan yang memiliki nilai sejarah.

Ketika tiba di Makkah, tempat dia akan tinggal selama beberapa bulan, Khaizuran mendanai sebuah upaya untuk merestorasi rumah tempat Nabi dilahirkan.

Tidak hanya itu, dia juga memperbaiki sebuah bangunan yang dikenal sebagai Rumah Arqam tempat para pemeluk Islam awal berkumpul.

Di masa belakangan, keduanya dimuliakan sebagai tempat suci. Dengan cara ini, Khaizuran semakin meninggikan kedudukannya yang mulia sembari memberikan lebih banyak cap religius pada rezim putranya.

Harun memberinya penghormatan yang tidak diberikan Hadi, saudaranya. Ketika Khaizuran meninggal dunia di usia 50 pada tahun berikutnya, November 789 M, Harun berjalan telanjang kaki melalui lumpur di depan peti jenazahnya menuju makam.

Ketika Harun sampai di pemakaman di tepi barat Tigris, dia mencuci kakinya dan mengenakan sepasang sepatu bot baru.

Sebagai ucapan selamat tinggal, dia membacakan eulogi Ibnu Nuwairah yang terkenal yang dibacakan istri Nabi Muhammad, Aisyah, di atas pusara ayahnya sekaligus khalifah pertama, Abu Bakar.

Menurut Bobrick, di masa keluarga Abbasiyah berhasil berkuasa, penaklukan Islam kurang lebih sudah menempuh jalannya.

Tapi, perbatasan Bizantium masih terus berubah. Setelah serangkaian kemunduran, Kerajaan Abbasiyah sekali lagi berusaha menekan balik.

“Dua serangan Harun yang spektakuler ketika masih menjadi pangeran mahkota merangsang seleranya untuk mencapai tujuan ini,” ujarnya.

Tahun demi tahun, untuk meningkatkan kedudukannya sebagai panglima orang beriman, dia terjun ke medan perang. Di perbatasan barat Kerajaan Abbasiyah kerap terjadi bentrokan.

Hal itu terjadi karena kedua belah pihak menempatkan pasukan di sepanjang garis pertahanan berkubu yang membentang di seluruh Asia Kecil atau Anatolia, dari Suriah hingga perbatasan Armenia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement