REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim kuasa hukum tersangka yang juga Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, berencana akan mengajukan surat penangguhan penahanan terhadap kliennya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak akan menyetujui permintaan itu.
“Orang membuat surat itu kan hak, boleh. Tapi kan apakah hak itu disetujui, karena kami punya kewajiban untuk menjamin prosesnya lebih cepat dan objektif,” kata Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto yang ditemui di gedung KPK, Jakarta, Senin (23/12).
Bambang menjelaskan para pelaku kasus korupsi selalu mencari alasan dan gerakannya selalu konsolidatif dalam membela diri dalam kasus korupsi yang menjeratnya. Saat KPK melakukan upaya paksa seperti penahanan, KPK akan dituding telah melakukan ‘tebang-pilih’.
Ia menilai hal itu cara koruptor untuk menggerus kredibilitas lembaga penegak hukum seperti KPK. Padahal upaya paksa ini agar akuntabilitas pemeriksaan dalam penyidikan kasus suap penanganan sengketa pilkada Kabupaten Lebak di Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi lebih terjaga.
Mengenai penempatan tahanan Atut di Rutan Pondok Bambu karena tahanan di Rutan KPK sudah terlalu banyak. Sedangkan Rutan KPK di Pomdam Jaya Guntur belum dilakukan serah terima. Jika sudah ada serah terima Rutan Guntur, maka awal tahun 2014 akan digunakan.
“Makanya kalau tadi Rutan Guntur sudah jadi, mungkin lebih enak ngaturnya. Guntur sudah selesai tapi belum serah terima, karena lebih banyak sel (dan Atut akan dipindahkan ke Rutan Guntur),” ujarnya.
Ia menegaskan penahanan Atut harus tetap dipisahkan dari tersangka lain dalam kasus ini yang juga adik kandung dari Atut, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. “Tapi kalau ada pertemuan, ketemu juga, padahal kan yang ngatur-ngatur begitu dikhawatirkan bisa mempengaruhi,” katanya.