REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Banten dinilai memiliki standar etika moral yang rendah.
Hal itu menyusul disepakatinya Ratu Atut Chosiyah untuk tetap menjabat sebagai Gubernur Banten yang sah setelah dilakukan pertemuan tertutup oleh pimpinan DPRD, Selasa (24/12).
Meski kini Atut mendekam di rumah tahanan Pondok Bambu Jakarta Timur, DPRD Banten bersikukuh tetap mempertahankan jabatan Atut.
Pertemuan yang dihadiri Ketua DPRD Banten Aeng Haerudin beserta wakil ketua Suparman, Ei Nurul Khotimah, Asep Rakhmatulloh, dan Eli Mulyadi menyepakati tidak akan menggunakan hak interpelasi karena pemerintahan masih berjalan dengan baik.
Menurut mereka, tidak ada yang dilanggar dalam undang-undang sehingga tidak ada alasan kuat untuk mendorong Atut mengundurkan diri meski telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap Pemilukada Kabupaten Lebak, Banten.
Pengamat ekonomi politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, Dahnil Anzar, mengatakan sikap pimpinan DPRD Banten semakin menunjukkan bahwa politisi di legislatif Banten sudah dikuasai oleh Atut. Mereka, kata Dahnil, mengabaikan fakta penting untuk memberikan keteladanan yang baik kepada publik.
"Ini mengonfirmasi bahwa politisi di legislatif Banten ini memang Legislatut," ujarnya kepada RoL, Rabu (25/12).
Dahnil melanjutkan, seharusnya DPRD menjadi penyeimbang secara politik untuk mendesak Atut untuk mengundurkan diri demi kepentingan publik yang lebih luas. Bukan justru melegitimasi sikap kakak kandung Tubagus Chaeri Wardhana (Wawan) itu.
"Bagaimana mungkin kerja-kerja pemerintah dapat berlangsung dengan baik dan memberikan dampak positif bagi pembangunan ketika gubernurnya di penjara," tegas Dahnil.