REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Revisi Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mendesak dirampungkan. Sebab, status tersangka dugaan kasus korupsi yang melekat pada kepala daerah menghambat jalannya birokrasi dan administrasi kepemerintahan.
“Kepala daerah yang sudah menjadi tersangka, pasti tidak akan fokus mengurus pemerintahannya, yang ada lumpuh,” kata Direktur Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Robert Endi Jaweng pada Republika saat dikonfirmasi, Kamis (26/12).
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi, menurut dia, adalah orang yang patuh atas aturan UU, padahal dari segi etika dan moral pelaksanaanya tidak selalu bisa disesuaikan dengan kondisi. Seperti halnya melantik Bupati Gunung Mas, Hambit Bintih, sama saja memberikan mandat ke orang yang bermasalah.
Sedangkan, UU tidak mengatur adanya pelimpahan wewenang bagi pejabat yang terlibat kasus korupsi. Mereka baru dinonaktifkan sebagai kepala daerah kalau status hukumnya sudah dianggap terdakwa.“Pertanyaannya, kalau nanti kepala daerah tersebut enggan menyerahkan wewenangnya ke wakil bagaimana,” ujarnya.
Di tambah, kalau wakil kepala daerah tersebut pada akhirnya ikut terseret dalam kasus tersebut, apa langkah yang perlu dilakukan Kemendagri. Dia menagatakan, harus ada sanksi juga bagi calon kepala daerah pemenang pemilu yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka, bagaimana mekanismenya.
Robert menyatakan, revisi UU harus segera dilangsungkan dengan adanya sejumlah terobosan hukum menyangkut prosedur kepala daerah tersangka korupsi. Dan masyarakat pun harus lebih kritis melihat bupati/walikota atau gubernurnya, jangan sembarangan memilih dalam pemilukada.
“Dan ini juga karena adanya masalah pada sistem penyelenggaraan pemilukada. Pemimpin yang dihasilkan dari cara yang buruk, akan menjadi kepala daerah bermasalah ke depannya,” kata dia.
Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf mengatakan, bila ada pemenang calon kepala daerah peserta pemilukada yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi, maka UU harus menggugurkannya. Kemudian, secara otomatis, wakilnya naik menggantikan mandat tersebut.
Sebab, kalau tersangka tersebut yang tetap diangkat, maka dalam sumpah pelantikan hanya dianggap sebagai formalitas. Bagaimanapun, dia tidak bisa menjalankan kepemerintahannya. Menurut dia, Mendagri Gamawan Fauzi jangan terus mengacu pada UU Pemda dalam mengambil kebijakan semacam itu.“Kan ada juga UU lain menyangkut KKN, jangan pakai kacamata kuda. Dan kasus ini bukan terjadi pertama kalinya,” ujar dia.
Mendagri, Gamawan Fauzi mengatakan, pihaknya tidak ikut campur bila KPK tidak memberikan persetujuan atas pelantikan Hambit. Dia hanya mengacu pada UU, sedangkan teknis pelantikan dilangsungkan oleh Gubernur Kalimantan Tengah, Teras Narang atas nama Presiden SBY.“Tanya langsung ke Gubernur Kalteng, karena yang melantik beliau atas nama Presiden,” ujar dia.