REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fenomena perayaan Tahun Baru Masehi tidak memiliki substansi dan tujuan yang jelas jika ditinjau dari kaca mata budaya Indonesia, termasuk di ibu kota Jakarta.
Budayawan asal Jakarta Ridwan Saidi menuturkan, tidak ada perayaan tahun baru dalam kamus adat Betawi sejak dulu. Begitu pula dengan sebagian besar kultur lokal masyarakat di daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Ini dikarenakan masyarakat Betawi menerapkan kalender lunar (bulan) sebagai sistem penanggalan mereka, bukan kalender solar (matahari).“Kalau pun ada perayaan meriah yang harinya diambil dari kalender matahari, itu pun cuma peringatan 17 Agustus saja,” ujar Ridwan Saidi saat dihubungi ROL, Selasa (31/12).
Bahkan di masa pemerintahan kolonial pun, kata dia, masyarakat Betawi tetap memelihara sistem penanggalan lunar dalam keseharian mereka, di samping menerapkan kalender matahari.
“Jadi, orang-orang kita di zaman Belanda dulu menggunakan kedua-duanya. Tapi, tetap saja tidak ada budaya perayaan tahun baru Masehi di masa itu,” ujarnya.Selebrasi pergantian tahun yang penuh dengan nuansa hura-hura seperti sekarang ini, kata dia, mulai populer di Jakarta pada masa Gubernur Ali Sadikin.
Sejak itulah, fenomena tersebut terus bertahan hingga sekarang di ibu kota Jakarta.“Perlu kita renungkan kembali. Apa tujuan sebenarnya masyarakat kita mengikuti perayaan tahun baru? Yang saya tahu, itu adalah semacam ritual untuk memperingati hari kelahiran dewa matahari,” ujarnya.