REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah akibat akan timbul jika pihak kepolisian asal dalam menyebut pelaku kejahatan sebagai teroris. Pakar Terorisme, Mardigu Wowiek Prasantyo, menegaskan efek tersebut justru akan menyusahkan pihak kepolisian juga.
Teroris memiliki organisasi yang terstruktur, memiliki kitab, undang-undang, dan pemimpin sendiri. Modus mereka pun tertata dengan rapih terutama ketika akan menjalankan misinya.
Sementara, kejadian penggerebekan enam orang para terduga pembunuh polisi di Ciputat, Tangerang Selatan, tidak lantas menjatuhkan embel sebagai teroris. Teroris yang sebenarnya mungkin akan 'sakit hati' karena tidak merasa melakukannya. ''Mungkin akan muncul serangan baru yang dilakukan teroris sesungguhnya,'' katanya, kemarin.
Selain itu, jika mereka disebut sebagai teroris, otomatis mereka akan menempati penjara kelas 1 tempat berkumpulnya para teroris. Penerimaan paham pun akan terjadi yang mungkin mereka belum mengetahuinya. Dogma-dogma yang dilemparkan pelaku teror yang sesungguhnya mudah diterima oleh mereka yang sebenarnya bukan teroris.
Kemudahan tersebut, katanya, karena mereka memiliki nasib yang sama di penjara dan di kelas yang sama sebagai pelaku teror. ''Ujung-ujungnya, muncul teroris baru dari sini. Ini yang harus dipikirkan ke depannya,'' kata Mardigu.
Mardigu menjelaskan, pihak kepolisian tidak boleh asal dalam menyebut pelaku kejahatan tertentu sebagai teroris. Harus ada fakta mereka memiliki jaringan kelompok teror.