REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aktivis perempuan Gefarina Djohan menilai pemimpin yang membanggakan poligami di hadapan rakyat justru melakukan tindakan kontraproduktif dengan upaya mendorong kesetaraan gender.
Ia menyebut poligami sebagai tradisi jahiliyah sebelum datangnya Islam. Pada masa itu para lelaki kaya di Arab mengawini sampai ratusan orang perempuan.
Islam, lanjutnya, mengeluarkan aturan untuk mereduksi praktik tersebut dengan membatasinya menjadi empat orang. Tapi esensi sesungguhnya bukan jumlah, tetapi sikap adilnya.
Karena itu, menurut dia, untuk seorang pemimpin atau wakil rakyat, mempropagandakan poligami di hadapan publik sebagai sebuah langkah yang tercela.
Bagaimana pun, lanjutnya, memilih satu istri lebih baik. Karena Islam menekankan keadilan. Karenanya, jika ada yang mengatasnamakan Islam dan melakukan poligami, berarti dia tidak memahami Islam sepenuhnya.
Gefarina meyakini perempuan yang cerdas tidak akan mempercayakan suaranya kepada seorang pemimpin atau wakil rakyat propoligami.
"Pemilih sekarang cerdas, terutama perempuan. Pada 2010 saja, komposisi penduduk kita 49 persen perempuan dan 51 persen laki-laki. Ini kan cukup signifikan dan pemilih laki-laki juga tidak semuanya mendukung poligami," ujar Gefarina.