REPUBLIKA.CO.ID, SRAGEN -- Tak akan ada lagi pernikahan resmi yang bisa dilakukan di masjid-masjid Kota Sragen. Pasangan yang bermimpi mencatatkan pernikahannya di gedung atau hotel pun harus gigit jari.
Sebab, mulai 1 Januari 2014, petugas pencatat nikah (PPN) di Kabupaten Sragen memberlakukan aturan baru.
Penghulu menolak melakukan kegiatan pencatatan nikah di luar balai nikah atau KUA (kantor urusan agama). Jika ada pasangan yang tetap melangsungkan pernikahan di luar KUA Kota Sragen, pernikahan itu tak diakui negara.
Aturan haram mencatatkan pernikahan di luar KUA menjadi babak baru setelah sebelumnya penghulu di Pulau Jawa melakukan mogok.
Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) se-Kabupaten Sragen, Hasanuddin, menyatakan, keputusan ini resmi berlaku bagi seluruh petugas PPN.
“Keputusan ini sebelumnya juga sudah disepakati asosiasi Kepala KUA se-Jawa-Madura,” kata Hasanuddin akhir pekan lalu.
Ia pun mengakui kebijakan kontroversial ini diambil lantaran persoalan amplop penghulu dan petugas PPN. Ia beralasan kebijakan wajib menikah di KUA ditempuh untuk menghindari jeratan hukum pidana bagi petugas PPN yang menerima amplop uang terima kasih.
Masih menurut Hasanuddin, hal tersebut didasarkan pada Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Pasal 21 Ayat (1) yang menyatakan, pencatatan nikah dilakukan di kantor KUA.
Kini, aturan wajib menikah di KUA mulai disosialisasikan kepada masyarakat. Hasanuddin pun mengakui pihaknya terus melakukan sosialisasi dan koordinasi dengan jajaran pemerintah. Mulai dari kantor pemerintah desa/kelurahan, kecamatan, hingga pemerintah kabupaten.
Dengan sosialisasi ini diharapkan masyarakat bisa mengetahui dan menerima kebijakan wajib menikah di KUA.Wakil Ketua Asosiasi Penghulu Distrik Solo Raya, Muhammad Fadlan, mengakui, kebijakan wajib menikah di KUA bisa menimbulkan rasa kurang puas di masyarakat.
Pasalnya, kini harapan untuk menggelar pernikahan secara besar-besaran dengan mengundang banyak tamu urung dilakukan. Ini mengingat gedung KUA memiliki fasilitas seadanya.
“Kami juga memaklumi masalah (ketidakpuasan) itu. Kami tidak bermaksud mempersulit masyarakat dalam memberikan pelayanan masalah pernikahan,” ujar Fadlan.
Untuk menyikapi permasalah tersebut, Fadlan mengimbau masyarakat bersabar sembari menunggu adanya regulasi peraturan yang baru. Aturan baru yang ditunggu itu menyangkut anggaran transportasi penghulu.
Menurutnya, petugas PPN bersama seluruh anggota Asosiasi Penghulu maupun kepala KUA tidak mau mengambil risiko dengan mendatangi lokasi pernikahan di luar KUA tanpa adanya anggaran.
Mereka tak ingin kasus hukum yang menyeret kepala KUA di Kabupaten Kediri perihal gratifikasi amplop nikah terulang di diri menikah.
“Karenanya, masyarakat yang hendak menikahkan anaknya diharapkan menikah di KUA. Mempelai hanya dikutip biaya pencatatan nikah Rp 30 ribu. Tidak ada biaya lain.”
Tidak hanya urusan wajib menikah di KUA, kini pasangan yang hendak menikah di hari libur pun harus meminta izin khusus. Bila izin tak diberi kepala KUA, pasangan wajib menikah di hari kerja.
“Soal dikabulkannya permohonan (menikah di luar jam kerja atau hari libur) tergantung keputusan kepala KUA” kata Mustain Ahmad, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Karanganyar.