Selasa 07 Jan 2014 13:03 WIB

Indriana Purnamawati, Terlahir Kembali dengan Islam

Indriana Purnamawati
Foto: dok.pribadiku
Indriana Purnamawati

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rosita Budi Suryaningsih

Akhlaknya yang bagus membuat keluarganya tertarik pada Islam.

Perempuan yang suaminya menjadi dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair) Surabaya ini mengenakan jilbab dan sangat ramah. Ibadah shalatnya pun bisa dibilang rajin.

Tak banyak yang tahu, perempuan berusia 50 tahun bernama Indriana Purnamawati itu lahir dan dibesarkan bukan oleh keluarga Islam. Masa kecilnya dipenuhi dengan kehidupan keluarga yang taat pada ajaran Katolik.

Namun, rasa ingin tahunya yang besar merintis jalannya untuk mengenal Islam, hingga akhirnya muncul keinginan kuat untuk menjadi Muslimah.

Perempuan yang akrab disapa Nina ini terlahir sebagai Katolik. Sejak TK hingga SMP, ia selalu mengenyam pendidikan di sekolah Katolik.

Ketika duduk di bangku SMA, ia bersekolah di SMA negeri. Saat itu, matanya terbuka, ternyata ia hidup menjadi minoritas di antara banyak kawannya yang Muslim.

Saat menghadapi syok karena melihat kebiasaan baru agama lain, ia banyak penasaran. Misalnya, ia melihat ada temannya yang membawa mukena ke sekolah dan mengetahui apa saja ibadah wajib yang harus dilakukan umat Islam. “Saya dulu melihat, kok Islam itu ribet banget, ya,” ujarnya kepada Republika, pekan lalu.

Ia juga dekat dengan lelaki Muslim, yang kemudian menjadi kekasihnya kala itu. Pria ini selalu menggiringnya agar ia masuk menjadi Muslimah. “Saya tidak suka dengan cara seperti ini sehingga saat itu saya jadi benci setengah mati dengan Islam,” katanya.

Namun, saat duduk di kelas dua SMA, ia justru mulai tertarik dengan Islam. Rasa penasarannya yang sangat tinggi membuatnya banyak belajar hal baru dan informasi-informasi mengenai Islam. “Bahkan, saya iseng-iseng ikut pelajaran agama Islam juga,” ujarnya.

Saat itu, ketika datang waktu ulangan pelajaran agama Islam, ia harus mencontek juga belajar menghafal mati-matian agar tidak terlalu jelek nilainya.

Ketika masa kuliah, ia semakin dekat dengan Islam. Teman kos sekamarnya Muslim yang taat dan banyak mempunyai buku agama yang menarik perhatiannya. “Awalnya ngumpet-ngumpet baca buku agama teman saya ini dan lama-lama tertarik,” kata Nina.

Banyak pengetahuan baru yang didapatnya ketika mempelajari Islam. Salah satunya adalah kenyataan Allah itu bersifat esa dan tidak diperanakkan.

Setelah banyak membaca buku agama  Islam, rasa ingin tahunya semakin besar. Ia akhirnya berani membuka Alquran yang di dalamnya ada terjemahannya. “Melihat bahasanya, saya nggak ngerti sama sekali,” ujarnya.

Namun,  ia tidak menyerah. Ia terus membuka Alquran dan membaca buku-buku agama. Melalui proses yang panjang,

Nina akhirnya merasakan mendapatkan hidayah. Hingga ia minta diajarkan shalat oleh teman. Pada 1983, ia akhirnya mantap mengucapkan syahadat di depan teman-teman juga ustaz yang membimbingnya.

Awalnya, Nina menyembunyikan identitas barunya sebagai Muslimah apalagi di depan keluarga. Karena, ia tahu keluarganya adalah penganut Katolik yang taat.

Suatu hari, keluarganya akhirnya mengetahui juga. Saat itu, orang tuanya melihat ia sedang shalat. Ia pun kemudian dimarahi habis-habisan oleh bapaknya. “Saat dimarahi itu, saya ya diam saja terus,” katanya.

Ia mencari pembelaan kepada kakaknya yang telah menjadi mualaf juga karena menikah dengan orang Islam. Namun, ia kecewa karena kakaknya sama sekali tidak tahu tentang esensi Islam dan tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan.

Kakaknya ini hanya ikut-ikutan shalat seperti pasangannya, namun tidak mengetahui ilmu-ilmu agama Islam. “Berbeda dengan saya. Kalau saya mempelajari dulu, tahu ilmunya, baru belajar shalat dan memutuskan masuk Islam,” ujar Nina.

Nina merasa jalan Islam yang ia pilih ini sudah sangat tepat dan ia mantap karena ini muncul dari keinginan sendiri.

Sebelumnya, ia banyak mendulang informasi dan ilmu dari buku-buku dan bertanya kepada orang-orang yang bisa memberikan jawaban memuaskan untuknya. Jadi, ia masuk Islam benar-benar karena kemauan sendiri, tanpa paksaan dari pihak manapun dan bukan sekadar ikut-ikutan.

Setelah masuk Islam, ia merasa banyak perubahan besar yang terjadi terhadapnya. Jika mau melakukan sesuatu, ia akan banyak berpikir terlebih dahulu, akibatnya apa nanti dan dihubungkan dulu dengan hukum Islam.

Selain itu, ia selalu mengambil hikmah dalam setiap apa yang telah dilakukannya. “Saya selalu merasa disayang Allah,” kata Nina.

Ia merasa seperti terlahir kembali setelah masuk Islam tersebut. Nina merasa menjadi orang baru dengan pandangan hidup baru yang lebih nyaman baginya. Meski begitu, ia tetap menghormati orang-orang di sekelilingnya yang mempunyai pandangan sendiri-sendiri.

Ketika lama tak bertemu kawan lama, banyak yang kaget melihat penampilannya sekarang apalagi sekarang ia mengenakan jilbab. “Tapi, alhamdulillah hubungan kami tetap baik, hubungan sosial tetap terjaga, apa pun kepercayaan yang kamu anut,” ujarnya.

Meski mendapatkan kecaman dan dihadapkan pada amarah bapaknya karena pindah agama, Nina tetap mantap memilih Islam. Ketika ia dimarahi, ia selalu diam, tak membantah ataupun balas membentak orang tuanya.

Perilakunya pun tidak berubah, ia tetaplah menjadi Nina yang baik hati, cerdas, dan manis. Bahkan, semakin hari akhlaknya kian bagus. Inilah yang membuat keluarganya yang lain tertarik juga pada Islam.

“Alhamdulillah, akhirnya semua keluarga saya jadi Islam. Bahkan, ibu saya memutuskan menjadi mualaf dan langsung ngebut belajar shalat dan agama di sisa usianya. Ia meninggal saat sedang ingin shalat, sudah mengenakan mukena, namun tiba-tiba ambruk dan meregang nyawa,” kata Nina.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement