REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permasalahan kekisruhan harga elpiji 12 kilogram dinilai bersumber dari inefisiensi kinerja bisnis Pertamina. "Masalah sesungguhnya terletak dari kebijakan inefisiensi Pertamina dalam menjalankan roda bisnisnya sehingga selalu merugi," kata Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Harry Azhar Azis di Jakarta, Selasa (7/1).
Menurut politisi Partai Golkar tersebut, upaya mengatasi kerugian Pertamina harus dilakukan secara konsisten di bawah pengawasan pihak-pihak berwenang lainnya.
Karena itu, ujar dia, Partai Golkar mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menyelidiki inefisiensi yang terjadi di Pertamina.
"Saya heran, kenapa Pertamina selalu menyatakan rugi. Padahal, Pertamina tidak pernah menjelaskan kepada publik kondisi dan 'real cost production' dari elpiji 12 kg. Kami melihat, jelas terjadi inefisiensi," katanya.
Ia mencontohkan, salah satu bukti inefisiensi Pertamina terlihat dari banyaknya proyek-proyek Pertamina di berbagai wilayah Indonesia yang tidak digarap secara serius bahkan cenderung diabaikan.
Harry menambahkan, masuknya KPK dan BPK sangat diperlukan karena uang yang dimiliki BUMN, termasuk Pertamina, sesungguhnya merupakan uang negara.
Ia menjelaskan, menurut Pasal 2 huruf (g) UU Keuangan Negara maka keuangan negara termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.
"Karena itu uang negara, maka tepat sekali KPK dan BPK untuk menyelidiki tindakan inefisiensi yang dilakukan Pertamina," tambah Harry.