REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Penanganan terorisme yang dilakukan Polisi dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) justru memunculkan apatisme dan sinisme publik terhadap aparat hukum. Kondisi ini disebabkan komunikasi publik mereka dalam merespon isu terorisme dinilai gagal.
Peneliti senior Lingkaran Survei Indonesia Toto Izul Fatah mengatakan penjelasan polisi dan BNPT dalam penanganan terorisme terkesan paradoks. Di satu sisi mereka menggambarkan terorisme sebagai kelompok terlatih dan canggih. Tapi, di sisi lain, Polri mengungkap fakta berbeda tentang bodoh dan lugunya kelompok teroris ini.
Toto menyontohkan, dalam kasus kelompok teroris sekelas Dayat CS yang ditembak mati di Ciputat. “Dengan bodohnya kelompok ini masih meninggalkan jejak dengan terungkapnya sejumlah dokumen rencana pemboman di sejumlah tempat. Termasuk, selalu meninggalkannya jejak buku panduan jihad,” kata Toto, Selasa (7/1) .
Dari beberapa kali aksi penggerebekan, Densus 88 selalu menemukan adanya buku panduan jihad. Ini menunjukkan, para teroris ini seolah-olah seperti masih belajar. “Melakukan aksi teror masih membawa-bawa buku jihad. Kalau sudah terlatih, para teroris itu harusnya meminimalisir jejak,” kata dia. Termasuk, selebaran dokumen tentang sasaran aksinya. Mereka harusnya sudah hapal diluar kepala.
Penjelasan ini penting agar Polri terhindar dari tudingan miring kemungkinan adanya rekayasa. Terutama, dari kelompok agama tertentu yang merasa dirugikan dengan pengungkapan barang bukti para teroris yang selalu ada buku panduan jihad. Sehingga, kesannya seperti ingin dapat pembenaran bahwa teroris ini dari kelompok agama tertentu.
Padahal, sudah jelas dalam agama manapun tak ada perintah jihad seperti itu. Artinya, Polri harus peka, jangan sampai terjebak pada pola penggiringan opini kalau teroris itu identik dengan agama tertentu. “Apa sih urgensinya Polri selalu mengungkapkan temuan buku jihad di setiap aksi penggerebekan Densus 88 itu?”
Penjelasan Polri juga terkesan paradoks dalam kontek sasaran aksi para teroris. Disatu sisi, Polri selalu menggambarkan kehebatan dan keterlatihan mereka untuk siap mati, sehingga perlu ditembak. “Tapi, kok sasaran aksi mereka seperti menggambarkan keluguannya.” Kata Toto.
Harusnya, lanjut Toto, kalau orang sudah siap mati, sasarannya pasti tidak tanggung dengan hanya menembaki polisi di pinggir jalan. Atau dengan menjadikan Polsek sebagai sasaran bom. Harusnya sasaran mereka lebih besar seperti meledakkan keduataan besar, kalau memang mereka sudah siap mati. “Menjadi aneh kalau mereka siap mati hanya untuk sasaran kecil. Padahal, baik sasaran kecil maupun besar toh sama-sama mati juga. “