REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah masih menghadapi dua persoalan serius terkait serapan belanja negara. Pertama, daya serap belanja masih rendah dan kedua masih tidak meratanya serapan yang berdampak pada kinerja perekonomian nasional.
Pengamat ekonomi UI Muslimin Anwar mengatakan, pada awal 2014 ini pemerintah harus lebih berani lagi melakukan realisasi belanja. Dari pola historisnya, kata dia, serapan belanja pada kuartal pertama selalu jauh lebih rendah dibanding serapan di kuartal 2, 3 dan 4.
Memang, jelas Muslimin, secara keseluruhan pada 2013 konsumsi pemerintah mengalami pertumbuhan tinggi mencapai 5,7 persen. "Ini jauh di atas pencapaian tahun 2012 yang hanya 1,2 persen," kata dia, Rabu (8/1).
Persoalannya, Muslimin menuturkan, distribusi penyerapan yang tidak merata pada setiap kuartalnya akan memberikan dampak pada melambatnya perekonomian.
Ini terkait dengan perlambatan kinerja pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, penurunan angka pengangguran, dan upaya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, realisasi belanja sampai dengan bulan November 2013 lebih bertumpu kepada belanja rutin. Menurut Muslimin, hal ini khususnya belanja pegawai seiring dengan penghentian moratorium penerimaan calon Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Desember 2012.
Di sisi lain, kata Muslimin, belanja barang dan belanja modal yang sangat penting bagi kualitas dan kesinambungan pembangunan pada tahun-tahun mendatang justru tercatat masih rendah.
Realisasi belanja barang sampai November 2013 hanya mencapai 56,9 persen dibandingkan capaian 2012 yang sebesar 62,1 persen. Sedangkan belanja modal baru terserap 55,7 persen.