REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syahruddin El-Fikri
Dikisahkan pada suatu masa, ada seorang alim yang tinggal di desa. Dia mempergunakan hari-harinya dengan mendekatkan diri kepada Allah. Dia juga menjaga dirinya dari hal-hal yang bisa membuatnya lalai mengingat Allah.
Suatu malam kala tertidur, sang alim bermimpi. Dalam mimpinya ia menyaksikan seorang penjaga toko memiliki keimanan lebih baik darinya.
Saat terbangun, dia merasa aneh, karena dirinya yang begitu banyak mendekatkan diri kepada Allah SWT, ternyata masih kalah hebat dibandingkan sang penjaga toko.
Dia berpikir mimpinya hanya bunga tidur semata. Walau demikian, sang alim belum merasa puas. Dia penasaran dengan mimpinya. Akhirnya, dia pun bertekad mencari sang penjaga toko yang hadir dalam mimpinya.
Singkat cerita, sang alim bisa bertemu dengan penjaga toko. Dia memerhatikan kegiatan si penjaga toko itu. Si penjaga toko melayani pembeli dengan lapang dada. Tak lupa, senyum manis ia berikan kepada para pembelinya.
Ketika panggilan shalat tiba, si penjaga toko pun pergi menunaikan ibadah shalat. Tak lama, ia kembali lagi ke toko untuk menjaga dan menjualkan barang milik majikannya.
Saat menyaksikan ada sang alim yang belum dilayani, sang penjaga toko kemudian menemuinya. Ia pun memberi salam dan menyapanya. “Adakah yang bisa saya bantu untuk tuan,” kata si penjaga toko.
Sang alim menyampaikan dirinya tak membutuhkan apa-apa. Dia menyampaikan perihal mimpinya dan ingin menyaksikan kegiatan si penjaga toko saja.
“Saya tak menemukan sesuatu yang begitu istimewa dari kegiatan Anda. Mengapa keimanan Anda dianggap melebihi kebiasaan yang saya lakukan,” ujar si alim.
Si penjaga toko terdiam. Dia enggan menceritakan kegiatannya. Namun, karena terus didesak, ia akhirnya mau menceritakan yang sesungguhnya.
“Baik tuan, sebelum saya menjelaskannya, saya punya satu permintaan yang harus tuan kerjakan. Dan bila tidak, maka saya juga tidak akan menceritakannya,” kata si penjaga toko. Sang alim pun menyanggupinya.
“Ini ada cawan datar yang berisi air raksa. Tolong bawa cawan ini hingga ke ujung jalan dan bawa kembali ke sini dalam waktu kurang 30 menit tanpa ada air raksa yang tumpah,” ujar si penjaga toko.
Sang alim pun segera membawa cawan itu dengan sedikit berlari. Hampir saja air raksa itu tumpah. Ia kemudian memilih berjalan secara hati-hati dan konsentrasi agar air raksa tidak tumpah. Sang alim berhasil sampai ke ujung jalan.
Ia kemudian kembali lagi. Upaya yang sama ia lakukan seperti sebelumnya, yakni berjalan pelan, hati-hati, penuh konsentrasi, dan fokus, agar air raksa tak tumpah.
Dan dalam waktu kurang dari 30 menit, sang alim berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik, kendati dengan nafas menggebu. Ia lalu menyerahkan cawan itu dan memohon sang penjaga toko menceritakan kegiatannya.
Karena tugas sudah dilaksanakan dengan baik, si penjaga toko pun memujinya. Ia bertanya kepada sang alim. “Selama membawa cawan berisi air raksa ini, berapa kali tuan mengingat Allah?” ujarnya.
“Ingat Allah? Tidak, saya tidak sempat mengingat-Nya sama sekali, karena saya harus konsentrasi agar cawan berisi air raksa ini tidak tumpah,” terang sang alim.
Akhirnya si penjaga toko menjelaskan, letak perbedaan antara dirinya dengan sang alim. “Tuan, selama menjaga toko ini, saya harus tetap fokus untuk mengingat Allah. Sama dengan yang tuan lakukan membawa cawan berisi air raksa ini. Tuan fokus, dan penuh konsentrasi. Saya juga demikian, tetap melayani pembeli dengan ramah dan sesuai syariat, tapi saya harus selalu fokus mengingat Allah,” ujar si penjaga toko. Ia pun mengutip bunyi QS an-Nur [24]: 37-38.
Kisah ini, menjadi pendorong bagi kita sebagai Muslim, untuk senantiasa fokus dan konsentrasi mengingat Allah (zikir) dalam kondisi apa pun. Karena, hanya dengan cara mengingat-Nya, maka diri kita akan selamat. (QS Ali Imran [3]: 190-191). Wallahu a’lam.