REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Erdy Nasrul
Popularitas majelis taklim naik daun di era 1980-an saat Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) berdiri.
Kata majelis taklim tak lagi asing di telinga masyarakat Indonesia. Kata ini marak digunakan untuk kumpulan pengajian. Tetapi, ada fakta menarik, yaitu istilah majelis taklim hanya ada di Tanah Air.
Di negara lain, ungkap Ketua Lembaga Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama (LBMNU) KH Zulfa Mustafa, majelis taklim tidak dikenal.
Secara etimologi, istilah tersebut terdiri dari dua kata yakni majlis. Asal katanya jalasa dalam bahasa Arab yang artinya ‘duduk’.
Majlis adalah bentuk kata tempat (ism makan) dari kata dasar duduk tersebut. Sedangkan kata taklim berasal dari kata ta'lim adalah bentuk masdar yang berarti ‘pengajaran’. Asal katanya 'allama. “Penggabungannya berarti tempat pengajaran,” paparnya, saat dihubungi Republika, Selasa (7/1).
Dalam tradisi negara lain, istilah majelis taklim dikenal dengan sebutan halaqah. Dalam tradisi tasawuf, ada zawiyah.
Semua kata itu menggambarkan kondisi sekelompok Muslim yang berkumpul untuk belajar. Mereka mengkaji ilmu keagamaan, baik dari aspek teologi, filsafat, maupun tasawuf.
Menurutnya, majelis taklim adalah salah satu lembaga pendidikan keagamaan nonformal yang bertujuan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Proses pembelajaran di dalamnya mengarah kepada pembentukan akhlak mulia bagi jamaahnya, serta mewujudkan rahmat bagi alam semesta.
Majelis taklim merupakan tempat pangajaran atau pendidikan agama Islam yang paling fleksibel dan tidak terikat oleh waktu. Sifatnya terbuka. Usia berapa pun, profesi apa pun, suku apa pun, dapat bergabung di dalamnya.
Waktu penyelenggaraannya pun tidak terikat, bisa pagi, siang, sore, atau malam. Lokasi taklim pun bisa dilakukan di dalam maupun di luar ruangan.
Menurut Zulfa, lembaga ini memiliki dua fungsi utama. Pertama, fungsi dakwah. Kedua, majelis taklim memiliki fungsi pendidikan. Kegiatan yang tidak formal dan tidak mengikat membuat masyarakat yang mengikuti kegiatan ini aktif tanpa ada paksaan.
Mereka lebih serius mempelajari agama di majelis taklim ketimbang sekolah. Ketika penceramah di majelis taklim mengimbau hindarilah omongan yang tidak terpuji, dan kemudian jangan menyakiti hati orang lain, “Ini akan efektif,” papar KH Zulfa. “Banyak nantinya yang mengikuti pesan itu.”
Lebih lanjut ia menjelaskan, majelis taklim menjadi sangat populer pada era 1980-an. Ketika itu, Prof Dr Tutty Alawiyah membentuk Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT).
Organisasi ini merupakan gabungan dari majelis taklim yang ada di seluruh Indonesia. Pernah dalam sebuah agenda yang didukung gubernur DKI Jakarta era tersebut, Ali Sadikin, BKMT melibatkan 140 ribu orang.
Kegiatan majelis taklim masih sangat tergantung gagasan dan aktivitas pengurus atau gurunya. Wawasan tentang masa depan, kehidupan sosial-ekonomi, lingkungan, kesejahteraan, bahkan pemikiran keagamaan juga belum menjadi perhatian kebanyakan dari mereka.
Namun demikian, lembaga nonformal ini mampu meningkatkan kualitas pemahaman dan amalan keagamaan setiap pribadi Muslim Indonesia yang mengacu pada keseimbangan antara Iman dan takwa dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Mengutip situs resmi BKMT Pusat, organisasi ini berdiri pada awal Januari 1981 di Jakarta. Organisasi ini lahir dari kesepakatan lebih dari 735 majelis taklim yang ada di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kini BKMT telah berkembang di seluruh wilayah Indonesia.
Cakupan perkembangan anggotanya mencapai ribuan majelis taklim dengan meliputi jutaan orang jamaah yang tersebar di 33 provinsi. BKMT juga telah mengembangkan beberapa organisasi otonom di bawahnya yang bergerak di bidang pemberdayaan ekonomi.
BKMT telah melahirkan organisasi perhimpunan usaha wanita (PUSPITA) BKMT dan mempunyai sekitar 400 buah Koperasi Jamaah (KOMAH) BKMT. Koperasi-koperasi ini bernaung di bawah induk Koperasi Jamaah (IKOMAH) BKMT.
Secara umum ada beberapa kondisi yang melatarbelakangi pembentukan dan pengembangan BKMT. Pertama, masih adanya isi materi dan bobot penyampaian pidato atau tabligh yang kurang menarik, kurang memperhatikan relevansinya dengan masalah aktual atau kebutuhan lingkungan. Kemudian, pengelolaan majelis taklim tidak disertai dengan perencanaan yang matang.
Selain itu, kemampuan individual kaum mubaligh belum mendukung keterlibatannya dengan pemecahan masalah masyarakat, terutama dalam penguasaan ilmu pengetahuan umum. Daya analisis terhadap keadaan dan kemampuan memecahkan masalah masih lemah, apa adanya, belum sistematis.