REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Sosiolog Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jawa Timur, Bagong Suyanto menilai untuk memberantas minuman keras (miras) seperti cukrik harus diterapkan dua cara yaitu pendekatan legal dan pendekatan kultural.
Bagong mengatakan, masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah terutama kelompok marginal seperti komunitas preman menganggap minuman seperti cukrik bukanlah minuman yang berbahaya atau ancaman.
Masyarakat tersebut justru menganggap cukrik sebagai tantangan. Ini sesuai dengan kepribadian orang menengah ke bawah yang cenderung resisten dan mereka cenderung menyimpang.
“Masyarakat itu juga mengembangkan kode etik sendiri atau gaya hidup yang menantang aturan dan resiko,” katanya kepada Republika, Ahad (12/1) malam.
Sehingga, kata sehingga masyarakat itu menganggap semakin berbahaya cukrik membuat mereka semakin tertantang. Selain itu, kata Bagong, kepribadian masyarakat marginal terbiasa meminum cukrik secara berkelompok sehingga mereka selalu meminum cukrik dengan menggelar pesta. Untuk itu, ada dua cara untuk mengatasi persoalan peredaran cukrik.
“Dua cara itu harus dilakukan secara bersama-sama. Jika tidak, masyarakat bisa mencari celah untuk tetap meminum cukrik,” ujarnya.
Pertama, pendekatan berbasis kultural yaitu mendekati ketua geng atau kelompok yang memimpin kelompok marginal tersebut dengan memberikan edukasi dan persuasi mengenai cukrik sekaligus bahayanya. Jika berhasil, kata Bagong, maka anggota kompok itu pasti menuruti apa yang dikatakan pemimpinnya karena ketua kelompok dianggap sebagai contoh atau patron oleh anggotanya.
Cara kedua, harus ada pendekatan legal yaitu penerapan peraturan daerah (perda) mengenai miras supaya memberi efek pemberantasan cukrik hingga produsennya.